Sunday, June 15, 2025

Perjuangkan Apa yang Memang Pantas Diperjuangkan

“Hidup Bukan Tentang Bertahan Saja”

Dalam perjalanan hidup, kita dihadapkan pada berbagai pilihan dan kemungkinan. Tidak sedikit yang mengajarkan kita untuk terus berjuang, untuk tidak menyerah, dan untuk bertahan sekuat tenaga terhadap apa yang kita inginkan. Namun, ada satu hal penting yang kerap terlupa: tidak semua hal layak untuk diperjuangkan.

Kita perlu menyadari bahwa tidak semua yang kita inginkan benar-benar membawa kebaikan. Tidak semua yang membuat kita terpikat, pantas untuk kita pertahankan. Terkadang, kita terjebak dalam usaha yang panjang hanya karena sudah terlalu jauh melangkah, bukan karena itu benar-benar layak untuk kita perjuangkan hingga akhir.

Perjuangan yang sejati bukanlah tentang bertahan dalam segala hal, melainkan tentang memilih dengan bijak apa yang pantas menjadi tempat kita mencurahkan tenaga, waktu, dan hati. Sebab memperjuangkan sesuatu tanpa arah hanya akan menjerumuskan kita dalam kelelahan yang tidak membawa hasil. Perjuangan yang tidak berpijak pada nilai dan makna hanya akan meninggalkan luka.

Kita harus belajar mengenali batas. Batas antara kesetiaan dan kebodohan. Batas antara bertahan demi kebaikan, dan bertahan karena takut sendirian. Batas antara memperjuangkan sesuatu yang membangun, dan mempertahankan sesuatu yang justru meruntuhkan diri kita sedikit demi sedikit.

“Saat Melepaskan adalah Bentuk Perjuangan Tertinggi”

Banyak orang mengira bahwa berhenti adalah bentuk dari kegagalan. Padahal, dalam banyak situasi, berhenti justru adalah bentuk tertinggi dari keberanian. Dibutuhkan kedewasaan untuk mengatakan, “Ini tidak lagi baik untukku.” Dibutuhkan kebijaksanaan untuk memahami bahwa tidak semua hal yang kita inginkan adalah yang kita butuhkan.

Memilih untuk tidak melanjutkan sesuatu bukan berarti menyerah. Itu berarti kita telah cukup jujur pada diri sendiri. Kita telah cukup kuat untuk tidak memaksakan apa yang sudah tidak sejalan dengan tujuan hidup dan nilai-nilai yang kita pegang.

Waktu dan energi kita terbatas. Maka gunakanlah untuk memperjuangkan hal-hal yang benar-benar memberi makna. Perjuangkan mimpi yang membuatmu berkembang. Perjuangkan relasi yang saling mendukung, bukan yang melemahkan. Perjuangkan prinsip dan nilai yang membentukmu menjadi pribadi yang lebih baik.

Dan yang terpenting, perjuangkan dirimu sendiri.
Perjuangkan hakmu untuk bahagia.
Perjuangkan ketenangan jiwamu.
Perjuangkan ruang untuk menjadi versi terbaik dari dirimu, tanpa terus-menerus dikorbankan untuk hal yang tidak pernah menghargaimu.

Pada akhirnya, hidup bukanlah tentang seberapa keras kita berjuang untuk sesuatu. Tapi tentang apakah perjuangan itu membawa kita pada arah yang benar. Jangan takut untuk berhenti. Jangan ragu untuk memilih ulang. Karena kadang, bukan jalan yang salah yang membuat kita tersesat tapi keyakinan buta untuk terus berjalan meski hati tahu, bahwa kita sedang menuju kehampaan.

Perjuangkan apa yang memang pantas diperjuangkan.
Bukan karena kita lemah. Tapi karena kita layak untuk hidup yang lebih baik.

Oleh: Alp.


Thursday, June 5, 2025

✨ Keindahan Puasa: Warisan Hikmah dari Ulama Tercinta ✨

Puasa bukan hanya sekadar menahan lapar dan dahaga. Lebih dari itu, puasa adalah ibadah yang sarat makna, kaya hikmah, dan penuh keberkahan. Dalam setiap detik kita menahan diri, ada limpahan pahala yang Allah janjikan. Tak heran jika para ulama salaf dan para kekasih Allah menjadikan puasa sebagai amalan unggulan dalam hidup mereka.

Di antara mutiara hikmah tentang puasa, ada pesan indah dari seorang ulama besar yang masyhur di kalangan santri, yakni Syaikhina Maimoen Zubair rahimahullah, pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, dan juga guru dari murabbi kita, Abuya ahmadi Abdul Fattah. Dalam nasihatnya kepada para santri, beliau menjelaskan beberapa keutamaan puasa yang jika direnungkan, membuat hati semakin bergairah untuk memperbanyak puasa—baik wajib maupun sunnah.

Berikut ini adalah sembilan keutamaan puasa yang beliau sampaikan, disertai penjelasan singkat agar lebih mudah dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari...

1. الصيام نصف الصبر والصبر نصف الإيمان.

"Puasa adalah setengah dari sabar, dan sabar adalah setengah dari iman."

➡️ Puasa itu sebenarnya latihan sabar. Kita menahan lapar, haus, dan hawa nafsu. Sabar itu kunci besar dalam agama, karena tanpa sabar, sulit banget menjalankan iman. Nah, karena sabar adalah setengah dari iman, maka puasa pun ikut menjadi bagian besar dari keimanan kita.

2. لكل شيء زكاة وزكاة الجسد الصوم.

"Segala sesuatu ada zakatnya, dan zakat tubuh adalah puasa."

➡️ Zakat itu artinya penyucian. Seperti harta yang dizakati untuk membersihkan, tubuh pun punya caranya disucikan: yaitu dengan berpuasa. Jadi puasa bukan hanya ibadah batin, tapi juga cara membersihkan jasad dari kotoran lahir dan batin.

3. الصيام والقرآن يشفعان للعبد يوم القيامة.

"Puasa dan Al-Qur’an akan memberi syafaat pada seorang hamba di hari kiamat."

➡️ Bayangin, nanti di hari kiamat, puasa dan bacaan Qur’an kita bakal jadi ‘pembela’ yang ngomong di hadapan Allah, minta agar kita diampuni dan dimasukkan ke surga. Keren banget, kan?

4. من كل شيء باب وباب العبادة الصيام.

"Segala sesuatu ada pintunya, dan pintu ibadah adalah puasa."

➡️ Puasa itu seperti pintu gerbang menuju ibadah-ibadah lain. Ketika orang terbiasa puasa, dia biasanya lebih gampang rajin shalat, baca Qur’an, sedekah, dan lainnya. Karena puasa melatih hati dan diri untuk dekat pada Allah.

5. صوموا تصحوا.

"Berpuasalah, maka kalian akan sehat."

➡️ Ini singkat tapi padat. Puasa ternyata bukan cuma ibadah, tapi juga punya manfaat medis. Banyak ahli gizi dan dokter juga bilang kalau puasa itu bisa membersihkan sistem pencernaan, detoksifikasi tubuh, bahkan bikin umur lebih panjang. Islam duluan yang ngajarin ini!

6. من صام يوما في سبيل الله باعد الله وجهه عن النار سبعين خريفا.

"Barang siapa berpuasa sehari di jalan Allah, Allah akan menjauhkannya dari api neraka sejauh 70 tahun perjalanan."

➡️ Masya Allah… sehari saja puasa karena Allah (bukan karena diet ya 😄), Allah janjikan perlindungan sejauh 70 tahun dari neraka. Bayangin kalau sering-sering puasa sunnah, seberapa jauhnya kita dari siksa itu?

7. من صام يوما تطوعا لم يطلع عليه أحد لم يرض الله له بثواب دون الجنة.

"Barangsiapa berpuasa sunnah yang tidak diketahui orang lain, Allah tidak akan ridha untuknya pahala kecuali surga."

➡️ Ini tentang keikhlasan. Kalau kita puasa diam-diam, hanya antara kita dan Allah, tanpa pamer, Allah sangat menghargainya hingga balasannya bukan main-main: langsung surga!

8. صمت الصائم تسبيح، ونومه عبادة، ودعاؤه مستجاب، وعمله مضاعف.

"Diamnya orang puasa itu tasbih, tidurnya ibadah, doanya dikabulkan, dan amalnya dilipatgandakan."

➡️ Saat puasa, semua hal jadi bernilai ibadah. Bahkan diam dianggap dzikir, tidur dianggap ibadah, apalagi kalau berdoa—langsung mustajab. Belum lagi semua amal baik dikalikan pahalanya. Serba untung!

9. عليك بالصوم فإنه لا مثل له في الأجر.

"Lakukanlah puasa, karena tidak ada ibadah lain yang menyamai pahalanya."

➡️ Ini kayak penegasan terakhir. Kalau mau pahala paling tinggi dan luar biasa, ya puasa! Gak ada ibadah lain yang bisa menyaingi pahalanya, apalagi kalau dilakukan rutin dan ikhlas.

Kalau disimpulkan, puasa itu bukan sekadar menahan lapar. Tapi dia adalah ibadah yang:

•Menguatkan iman

•Menyucikan tubuh

•Menghadirkan syafaat di akhirat

•Membuka jalan ibadah lain

•Menyehatkan

•Menjauhkan dari neraka

•Mendekatkan ke surga

•Menjadikan semua aktivitas bernilai ibadah

•Memiliki pahala yang luar biasa

Masya Allah, pantas kalau para ulama dan wali banyak menjadikan puasa sebagai kebiasaan harian mereka.🌙✨

Oleh: Al-Kamali.

Monday, June 2, 2025

Bukan Tentang Mereka, Tapi Kamu!

"Kalau orang lain bisa, kenapa harus saya?" "Kalau orang lain aja nggak bisa, apalagi saya."

Dua kalimat ini kerap melintas, terdengar ringan namun menyimpan beban yang tak kasat mata. Ia muncul bukan semata karena ketidakmampuan, tapi karena bisikan ragu yang bersemayam dalam diri. Ragu akan cukup tidaknya kita. Ragu akan pantas atau tidaknya kita melangkah sejauh itu.

Namun, pernahkah kita diam sejenak dan merenung, mengapa kita begitu gemar membandingkan langkah kita dengan milik orang lain? Seolah prestasi mereka adalah tolok ukur bagi nasib kita. Kita terlalu sering menoleh ke kiri dan ke kanan, sampai lupa bahwa kita sendiri telah menempuh perjalanan yang tak kalah jauh.

Jika orang lain bisa, itu bukan sinyal untuk mundur. Justru itu penanda bahwa sesuatu dapat dicapai. Bahwa keberhasilan bukanlah mitos, melainkan bukti dari usaha. Kita pun bisa, mungkin dengan cara yang berbeda, waktu yang berbeda, tapi bukan berarti tak mungkin. Dan jika orang lain belum mampu, bukan berarti kita juga akan gagal. Bisa jadi, kitalah yang membuka jalan.

Setiap jiwa punya musimnya sendiri. Ada yang mekar lebih cepat, ada yang bertumbuh perlahan. Ada yang jalannya lurus dan ringan, ada yang harus menempuh jalan berbatu, jatuh bangun berkali-kali. Dan semua itu tak apa. Semua itu wajar. Semua itu manusiawi.

Hidup ini bukanlah lomba lari cepat. Tidak ada garis akhir yang harus dicapai bersamaan. Ini tentang ketekunan, tentang kesetiaan pada proses, tentang keberanian untuk tetap melangkah meski tertatih. Karena sering kali, mereka yang pelan namun konsisten justru sampai lebih jauh dari yang terburu-buru.

Kita tidak dituntut untuk menjadi yang paling hebat. Yang kita perlukan hanyalah keberanian. Keberanian untuk mencoba. Keberanian untuk menerima kegagalan sebagai bagian dari belajar. Keberanian untuk bangkit ketika jatuh. Dan di atas segalanya, keberanian untuk percaya pada diri sendiri meski tak ada yang ikut percaya.

Percayalah, langkah-langkah kecilmu hari ini yang mungkin tampak remeh dan lambat sedang membentuk jalan besar di masa depanmu. Mungkin kamu belum sampai, tapi kamu sedang menuju ke sana. Dan itu sudah luar biasa.

Karena pada akhirnya, langkah yang berarti bukan ditentukan oleh siapa yang memulai lebih dulu, melainkan oleh siapa yang terus berjalan, dengan hati yang penuh keyakinan dan tekad yang tak mudah padam.

Oleh: Zayn Mawashif.



Thursday, May 29, 2025

Arti Seorang Sahabat

 

Setiap orang pasti memiliki teman. Namun, tidak semua orang beruntung memiliki seorang sahabat sejati. Teman bisa hadir dalam jumlah banyak, meramaikan hari-hari kita saat tawa mudah keluar, saat hidup terasa ringan. Namun, cobalah perhatikan ketika kesulitan datang—tak jarang mereka perlahan menghilang, tak terlihat batang hidungnya. Di sinilah perbedaan mencolok terlihat antara seorang teman dan seorang sahabat.

Sahabat adalah mereka yang datang bukan hanya saat kita tertawa, tapi juga saat kita menangis. Ia hadir bukan untuk sekadar mengisi ruang, tapi untuk menjadi penopang hati. Sahabat bisa jadi bukan bagian dari keluarga, tapi kehadirannya terasa seperti keluarga yang tak terpisahkan. Ia adalah seseorang yang peduli, yang tak lelah mendengarkan, dan senantiasa menguatkan.

Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan terbaik dalam hal persahabatan. Beliau memiliki banyak sahabat mulia, dan salah satu yang paling dekat dengannya adalah Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Gelar Ash-Shiddiq (yang membenarkan) disematkan kepadanya karena keimanan dan kepercayaannya yang luar biasa kepada Rasulullah, terutama saat peristiwa Isra’ Mi’raj, perjalanan luar biasa yang tidak masuk akal bagi kebanyakan orang kala itu. Namun, Abu Bakar berkata, “Jika beliau yang mengatakannya, maka aku membenarkannya.” Inilah bukti keimanan dan kepercayaan yang utuh yang menjadi fondasi dari sebuah persahabatan sejati.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin pernah merasakan kehangatan sahabat yang tulus. Misalnya, ketika ia memiliki makanan, ia akan berbagi dengan sepenuh hati. Bahkan ketika kita mengambil dalam jumlah banyak, ia hanya akan tersenyum dan tertawa, tanpa rasa marah. Bandingkan dengan teman biasa, yang mungkin langsung berubah sikap hanya karena kita mengambil sedikit lebih banyak dari yang seharusnya.

Dalam bercanda pun, sahabat terasa berbeda. Candaan, bahkan yang melibatkan sedikit ‘main fisik’ pun, tak diambil hati. Justru itu menjadi bumbu manis dalam kisah kebersamaan. Tapi jika dilakukan kepada orang asing, atau mereka yang mudah tersinggung, bisa jadi masalah akan membesar.

Sahabat sejati adalah mereka yang tetap tinggal saat yang lain pergi. Mereka adalah tempat kita bersandar ketika dunia terasa berat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنه، أن النبي ﷺ يقول: خيرُ الأصحابِ عند اللهِ خيرُهم لصاحبِه.

Artinya: "Sebaik-baik teman di sisi Allah adalah yang paling baik kepada temannya."

(HR. Tirmidzi).

Maka jika engkau memiliki seorang sahabat, jagalah ia. Karena dalam dunia yang semakin ramai namun terasa sepi ini, sahabat sejati adalah anugerah yang sangat berharga—karena saat dunia meragukanmu, ia tetap ada... untuk mendengarkan, memeluk, dan memotivasi.


Oleh: Nawa.

Sunday, May 25, 2025

Tak Semua Tanya Membawa Terang

“Ketika Kepatuhan Lebih Utama dari Pertanyaan”

Dalam kehidupan sehari-hari, bertanya adalah hal yang wajar bahkan penting. Bertanya adalah awal dari ilmu. Namun, ada kalanya bertanya terus-menerus bukan lagi cerminan keingintahuan yang sehat, melainkan tanda ketidak ikhlasan dan keraguan. Dalam Islam, Allah telah memberikan sebuah pelajaran besar tentang hal ini melalui kisah Bani Israil yang diabadikan dalam Al-Qur’an.

Kisah ini tercantum dalam Surah Al-Baqarah ayat 67–71. Allah memerintahkan Bani Israil, melalui Nabi Musa ‘alaihis salam, untuk menyembelih seekor sapi. Perintah ini sesungguhnya sederhana dan tidak rumit.

Allah berfirman:

وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهٖٓ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تَذْبَحُوْا بَقَرَةًۗ قَالُوْٓا اَتَتَّخِذُنَا هُزُوًاۗ قَالَ اَعُوْذُ بِاللّٰهِ اَنْ اَكُوْنَ مِنَ الْجٰهِلِيْنَ ۝٦٧

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: 'Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi.' Mereka berkata: 'Apakah kamu hendak menjadikan kami sebagai olok-olokan?' Musa menjawab: 'Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil. (QS. Al-Baqarah: 67)

Namun alih-alih langsung melaksanakan perintah tersebut, mereka justru mempertanyakannya berulang kali. Mereka meminta Nabi Musa untuk bertanya kembali kepada Allah tentang detail-detail yang sebenarnya tidak penting, seperti umur sapi, warnanya, dan ciri-ciri khusus lainnya.

Setiap kali Bani Israil bertanya, Allah memberikan jawaban yang semakin mempersempit pilihan mereka. Pada awalnya, perintahnya mudah, sembelih sapi. Tapi karena terus bertanya, akhirnya mereka harus mencari sapi dengan kriteria sangat spesifik yang tentu sulit ditemukan.

قَالَ اِنَّهٗ يَقُوْلُ اِنَّهَا بَقَرَةٌ لَّا ذَلُوْلٌ تُثِيْرُ الْاَرْضَ وَلَا تَسْقِى الْحَرْثَۚ مُسَلَّمَةٌ لَّاشِيَةَ فِيْهَاۗ قَالُوا الْـٰٔنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ فَذَبَحُوْهَا وَمَا كَادُوْا يَفْعَلُوْنَࣖ ۝٧١

Dia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman bahwa (sapi) itu adalah sapi yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak (pula) untuk mengairi tanaman, sehat, dan tanpa belang.” Mereka berkata, “Sekarang barulah engkau menerangkan (hal) yang sebenarnya.” Lalu, mereka menyembelihnya, dan hampir saja mereka tidak melaksanakan (perintah) itu.

Ayat ini menunjukkan bahwa mereka akhirnya menyembelih sapi tersebut, tetapi dengan enggan dan nyaris sulit dilakukan karena sulitnya mencari sapi yang spesifikasinya seperti yang tercantum dalam Al-Qur’an. Ini adalah bukti bahwa terlalu banyak bertanya bukan untuk mencari pemahaman, tetapi untuk menunda atau meragukan dan justru menjadi beban bagi diri sendiri.

“Diam dan Tunduk Kadang Itulah Hikmah Tertinggi”

Tidak semua hal harus kita pahami secara rinci sebelum melaksanakannya. Dalam agama, banyak hal yang menuntut keimanan dan ketundukan terlebih dahulu sebelum logika dan perasaan bisa mengikutinya. Ketika Allah memerintahkan shalat lima waktu, zakat, atau menutup aurat, kita tidak perlu terus bertanya "kenapa", melainkan langsung berusaha taat semampunya.

Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Tugas kita adalah melaksanakan dengan penuh iman dan tawakal.

Kisah Bani Israil dalam Surah Al-Baqarah bukan hanya sejarah, tapi cermin. Ia mengingatkan kita bahwa kepatuhan dan keikhlasan jauh lebih mulia daripada sekadar logika dan perdebatan.

Maka, jika dalam hidup ini kamu merasa sedang diuji dengan perintah yang terasa berat atau tak sepenuhnya kamu pahami, tenanglah. Taatlah dulu. Karena bisa jadi, dalam keikhlasan itu terdapat kemudahan yang selama ini kamu cari.

Oleh: Alp.


Thursday, May 22, 2025

Hidup Versi Plot Twist

“Tetap Sampai Tujuan Walaupun Jalan Berkelok-Kelok”

Terkadang, hidup tidak selalu berjalan sesuai dengan ekspektasi yang kita bayangkan. Harapan-harapan yang kita susun rapi sering kali berbelok arah, digantikan oleh realita yang datang tanpa permisi. Namun, mungkin disitulah letak keindahan hidup yang sebenarnya.

Bayangkan jika segala hal terjadi persis seperti yang kita inginkan. Setiap rencana berjalan lancar, tidak ada hambatan, tidak ada kejutan. Mungkin awalnya terdengar menyenangkan, tetapi lama-kelamaan segalanya akan terasa hambar. Tidak ada ruang untuk tumbuh, tidak ada tantangan untuk ditempa, dan tidak ada cerita yang layak dikenang. Hidup justru menjadi lebih “hidup” karena adanya ketidakpastian, karena kenyataan seringkali datang dalam bentuk yang berbeda dari harapan.

Di balik kegagalan, kita belajar arti dari ketekunan. Di dalam kekecewaan, kita menempa ketangguhan. Dan dalam kebingungan, kita sering kali menemukan arah yang sebelumnya tak pernah terpikirkan. Justru dari situ kita belajar bahwa hidup bukan soal memastikan semuanya berjalan sempurna, tapi tentang bagaimana kita tetap berjalan meski arah berubah.

Maka, ketika harapan tak sesuai kenyataan, bukan berarti hidup tidak berpihak. Bisa jadi, itu adalah cara hidup mengarahkan kita pada sesuatu yang lebih tepat, lebih kuat, dan lebih bermakna.

Yang terpenting adalah menjaga semangat. Sebab semangat adalah bahan bakar yang membuat kita terus melangkah, meski jalan yang dilalui tak selalu lurus, pemandangannya tak selalu indah, dan akhir ceritanya belum bisa kita baca. Selama semangat masih menyala, selalu ada harapan, selalu ada peluang untuk bangkit dan menata ulang langkah.

“Semangat Bagaikan Kekuatan Tak Terlihat”

Oleh : Alp


Sunday, May 18, 2025

Mitos Jawa dalam Kacamata Islam Kontemporer: Wajib Kita Imani atau Tidak?


Masyarakat Jawa dikenal kaya akan tradisi dan mitos, seperti cerita-cerita mistis, seperti wewe gombel, tuyul, dan lain sebagainya, juga persoalan weton, pantangan menikah di bulan tertentu, hingga kepercayaan terhadap roh halus. Mitos-mitos ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan diwariskan secara turun-temurun. Namun, bagaimana pandangan Islam kontemporer terhadapnya? Apakah mitos tersebut harus diyakini secara dogmatis, atau justru perlu disikapi secara kritis dan selektif?


1. Mitos sebagai Bagian dari Budaya.


Islam tidak menolak keberadaan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Dalam ushul fiqh terdapat kaidah “الأصل في الأشياء الإباحة” (pada dasarnya segala sesuatu itu boleh), kecuali jika ada dalil yang melarangnya. Oleh karena itu, budaya Jawa termasuk mitos-mitosnya dapat diterima selama tidak mengandung unsur syirik, tahayul, atau bertentangan dengan ajaran Islam.


Mitos dalam konteks ini dipahami sebagai simbol-simbol budaya yang tidak harus diyakini secara literal, tetapi bisa dipandang sebagai bentuk ekspresi sosial dan spiritual masyarakat.


2. Weton: Antara Budaya dan Keyakinan


Weton adalah sistem penanggalan tradisional Jawa yang digunakan untuk menentukan hari baik dalam berbagai urusan, seperti pernikahan atau memulai suatu usaha. Namun, jika kepercayaan terhadap weton diyakini bisa menentukan nasib atau keberuntungan secara mutlak, maka hal itu bisa tergolong syirik. Dalam QS. Al-An’am ayat 59 ditegaskan bahwa hanya Allah yang mengetahui perkara gaib, termasuk nasib seseorang.


وَعِندَهُۥ مَفَاتِحُ ٱلْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَآ إِلَّا هُوَۚ وَيَعْلَمُ مَا فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِۚ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍۢ فِى ظُلُمَـٰتِ ٱلْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍۢ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِى كِتَـٰبٍۢ مُّبِينٍۢ

Artinya: Kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahuinya selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).


Namun demikian, jika weton hanya dipakai sebagai referensi budaya atau penyesuaian sosial tanpa diyakini secara mistis, maka penggunaannya bisa ditoleransi dalam Islam.


3. Pantangan Menikah di Bulan Tertentu: Mitos atau fakta?


Beberapa masyarakat Jawa meyakini bahwa menikah di bulan-bulan tertentu, seperti bulan Syawal, Muharram (Suro), atau bulan Rabiul Awal (Maulid), dapat mendatangkan kesialan. Namun, pandangan ini tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam.


Rasulullah sendiri menikahi Sayyidah Aisyah RA. Pada bulan Syawal dan menggaulinya pada bulan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada larangan menikah di bulan Syawal. Sebagaimana diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah RA:


عن عائشة رضي الله عنها قالت تزوجني رسول الله صلى الله عليه و سلم في شوال وبنى بي في شوال فأي نساء رسول الله صلى الله عليه و سلم كان أحظى عنده منى قال

Artinya: Sayyidah ‘Aisyah ra berkata: Rasulullah menikahiku pada bulan Syawal dan mengadakan malam pertama pada bulan Syawal. Istri Rasulullah mana yang lebih beruntung ketimbang diriku di sisi beliau? (HR Muslim).


Selain itu, menikah di bulan Rabiul Awal, bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW, juga tidak dilarang dalam Islam. Bahkan, menikah di bulan tersebut bisa menjadi bentuk ungkapan kecintaan terhadap Rasulullah , karena pernikahan merupakan salah satu sunnah beliau.


Demikian pula, anggapan bahwa bulan Muharram (Suro) adalah bulan sial tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam.


Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk tidak mempercayai mitos atau pantangan selama itu tidak memiliki dasar yang konkrit dan bahkan menyelisihi syariat Islam.


4. Kepercayaan terhadap Makhluk Halus: Perspektif Tauhid


Mitos Jawa juga banyak berkaitan dengan kepercayaan terhadap makhluk halus seperti hantu, jin, dan roh leluhur. Islam mengakui keberadaan jin, namun ajaran Islam menekankan bahwa hanya Allah yang berkuasa atas segala sesuatu. Dalam QS. Al-Hajj ayat 53 dijelaskan bahwa godaan atau bisikan makhluk gaib adalah bentuk ujian bagi keimanan manusia;


لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِّلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ ۗ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقَاقٍۢ بَعِيدٍ. 

Artinya: Dia (Allah) hendak menjadikan apa yang dilontarkan setan itu sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan hatinya keras. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu benar-benar dalam perselisihan yang jauh (dari kebenaran).


Karena itu, umat Islam tidaklah seharusnya untuk takut berlebihan atau meminta pertolongan kepada selain Allah.


5. Integrasi Mitos dan Religi dalam Praktik Sosial.


Dalam realitas sosial, banyak ritual Jawa yang menggabungkan mitos dengan ajaran Islam, seperti ruwatan atau slametan. Meskipun mengandung unsur budaya, ritual ini seringkali disertai doa-doa Islami dan niat yang lurus kepada Allah. Fenomena ini mencerminkan kemampuan masyarakat Jawa untuk mengakomodasi ajaran agama ke dalam tradisi leluhur secara harmonis.


Selama unsur ritual tersebut tidak bertentangan dengan akidah Islam, tidak mengandung kesyirikan, dan tidak merusak keyakinan, maka praktik ini masih dapat ditoleransi sebagai bagian dari ‘urf (adat).


6. Pandangan Ulama Kontemporer.


Ulama-ulama kontemporer menekankan pentingnya memilah antara budaya dan akidah. KH. Aniq Muhammad Makki, misalnya, menilai mitos sebagai bagian dari warisan budaya yang tidak perlu diyakini secara dogmatis. Selama tidak bertentangan dengan tauhid dan tidak mengarahkan pada perbuatan syirik, mitos dapat dikaji dan dihargai sebagai ekspresi kultural keislaman.


Mencontoh para Walisongo yang berhasil menyebarkan ajaran Islam yang harmonis dan damai dengan bingkai akulturasi budaya, sehingga Islam diterima dengan baik bagi masyarakat jawa.


"Arab digarap, Jawa digawa, barat diruwat" (Ajaran Islam disesuaikan, budaya Jawa dilestarikan, dan pengaruh Barat dipilah), merupakan pesan KH. Aniq Muhammad Makki sebagai pengingat kita agar selektif dan bijak dalam proses adaptasi atau percampuran budaya, khususnya dalam konteks agama, tradisi, dan modernitas.


Kesimpulan: Memilah dan Memahami


Mitos Jawa adalah warisan budaya yang memiliki nilai simbolik dan sosial. Islam tidak melarang keberadaan budaya, namun menolak jika budaya tersebut mengarah pada keyakinan yang menyimpang dari akidah. Umat Islam tidak diwajibkan untuk meyakini mitos Jawa secara dogmatis. Yang terpenting adalah menjaga kemurnian tauhid dan menyikapi budaya dengan bijak, menghargai nilai tradisional tanpa mengabaikan prinsip-prinsip Islam.


Dengan demikian, kita bisa tetap melestarikan kearifan lokal tanpa harus mengorbankan keimanan. Islam dan budaya dapat berjalan seiring selama keduanya ditempatkan pada porsi yang tepat.


Oleh: Al-Kamali.