Senja hampir padam ketika seorang pemuda berdiri di tepi bukit yang sunyi, jauh di tengah hutan yang jarang dikunjungi manusia. Angin mengibaskan rambutnya yang kusut, sementara matanya yang merah menatap kosong ke hamparan pepohonan.“Aku tidak sanggup lagi…” bisiknya, sebelum akhirnya ia berteriak sekuat-kuatnya, suara yang pecah oleh duka, “Mengapa Tuhan tidak adil?! Mengapa seluruh keluargaku diambil dan aku dibiarkan sendiri?! Mengapa?!”
Teriakan itu menggema ke lembah, lalu lenyap. Hening kembali menguasai bukit. Namun tak lama kemudian, terdengar langkah perlahan dari balik semak. Seorang kakek paruh baya muncul, membawa busur dan panah yang tampak tua namun terawat. Wajahnya berkerut, tetapi sorot matanya tajam seperti seseorang yang tahu jauh lebih banyak daripada yang ia ucapkan.
“Ikutlah denganku, anak muda,” katanya tanpa penjelasan.
Entah mengapa, pemuda itu menurut. Seakan ada sesuatu dalam suara si kakek yang membuatnya tidak mampu menolak. Mereka berjalan menembus semak dan ilalang, hingga tiba di sebuah celah hutan kecil. Di kejauhan, mereka melihat seekor harimau tengah mengejar rusa yang ketakutan.
Pemuda itu terpaku. Namun sebelum ia sempat berkata apa pun, sang kakek mengangkat busurnya dan, dalam satu gerakan tenang, melepaskan anak panah. Panah itu meluncur cepat, menembus tubuh harimau. Harimau itu mengaum terakhir kalinya, lalu rubuh ke tanah.
Pemuda itu tersentak. “Apa-apaan yang kau lakukan, Kek?! Mengapa kau membunuhnya tanpa alasan?!”
Kakek itu tidak menjawab. Ia hanya menatap tubuh harimau yang kini diam, lalu berkata lirih, “Datanglah ke rumahku malam nanti. Aku akan menunjukkan sesuatu.”
Malam turun perlahan. Di bawah sinar bulan yang pucat, pemuda itu menyusuri jalan setapak menuju rumah sang kakek. Bangunan itu kecil, hanya berupa satu ruangan dengan dinding kayu tua. Di bawah cahaya lampu minyak, ratusan laron beterbangan, sebagian menempel pada kaca, sebagian berjatuhan kehilangan sayap.
Ia melangkah masuk dan menemukan sang kakek duduk bersila di tengah ruangan, tenang seperti batu karang di tengah badai. “Kemarilah,” ujarnya pelan. “Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan.”
Kakek itu mengambil seekor laron yang telah kehilangan sayapnya. Serangga kecil itu merayap lemah di telapak tangannya. Tanpa ragu, sang kakek menekannya hingga tak bergerak lagi.
Pemuda itu tak mampu menahan diri. “Kek! Pagi tadi kau membunuh seekor harimau, dan sekarang kau membunuh laron yang bahkan tidak bersalah! Mengapa?!”
Sang kakek menatapnya lama. “Katakan padaku,” ujarnya lembut, “apakah tindakanku membunuh harimau itu baik?”
Pemuda itu menarik napas. “Ya… karena kau menyelamatkan rusa itu.”
Kakek itu mengangguk. “Lalu bagaimana jika harimau itu memiliki anak?”
Pemuda itu terdiam sejenak, kemudian menjawab pelan, “Kalau begitu… itu salah. Kau membuat anak-anaknya kelaparan.”
“Begitu.” Kakek itu melanjutkan, “Lalu bagaimana dengan laron yang kubunuh tadi?”
Pemuda itu menjawab cepat, “Itu pun salah. Laron itu tidak bersalah.”
Senyum tipis muncul di bibir sang kakek. “Tahukah kau, anak muda? Laron yang telah kehilangan sayap tidak akan pernah bisa berkembang biak lagi. Ia kehilangan daya tariknya. Dan meski ia mungkin hidup sampai pagi, ia tetap akan mati—dimakan semut, digerogoti perlahan tanpa daya.”
Pemuda itu menelan ludah. Ada sesuatu yang bergerak dalam dadanya, sesuatu yang ia coba hindari selama ini—pemahaman.
Sang kakek melanjutkan, “Begitu pula keluargamu. Mati tidak selalu buruk, dan hidup tidak selalu baik. Hanya Tuhan yang tahu apa yang terbaik. Kita hanya menjalani.”
Kata-kata itu membuat pemuda itu menunduk. “Terima kasih, Kek… Aku—aku mengerti sekarang.”
Kakek itu berdiri, bergerak menuju pintu dengan langkah senyap. Pemuda itu baru menyadari ketika sosok itu hampir hilang. “Tunggu, Kek!” Ia bangkit dan mengejarnya keluar.
Namun ketika ia sampai di luar gubuk, kakek itu sudah lenyap. Tidak ada jejak, tidak ada suara. Hanya angin malam yang berhembus pelan, seolah menutup tirai dari sebuah pelajaran yang tak akan pernah ia lupakan.
Oleh : Nizar