Friday, December 12, 2025

Pertolongan dari Tempat yang Tak Terduga


Orang-orang sering bilang kebaikan itu punya wajah.

Katanya: lembut, ramah, sopan, dan murah senyum.

Seolah-olah pertolongan hanya lahir dari orang yang rapi dan terlihat benar.


Padahal kenyataannya tidak seindah brosur motivasi.


Hidup suka datang dengan kejutan yang tidak lucu:

saat kamu jatuh, orang yang kamu kira akan mengangkatmu

hanya menatap sebentar, lalu pergi.

Bukan karena mereka tidak bisa menolong,

tapi karena mereka memang tidak pernah berniat menolong dari awal.


Dan ironisnya, orang yang kamu remehkan,

yang caranya bicara kasar, penampilannya berantakan,

atau masa lalunya gelap

justru muncul saat kamu benar-benar butuh tangan.

Tanpa banyak kata, tanpa pamrih, tanpa drama.

“Halo, bangun. Jangan tenggelam di situ.”


Dari situ kita sadar satu hal yang sering terlambat dipahami:

yang terlihat paling baik belum tentu punya hati,

dan yang terlihat paling buruk belum tentu kehilangan nurani.


Kadang orang yang tampak suci hanya ahli menutupi kekosongan,

sementara orang yang tampak gelap justru menyimpan keikhlasan

yang tidak pernah mereka hias.


Itulah sebabnya kita tidak boleh sibuk menilai bungkus,

karena isi selalu mengungkapkan siapa seseorang sebenarnya.


Pertolongan tidak selalu datang dari kata-kata manis

atau senyum yang dibuat-buat.

Kadang ia datang dari seseorang

yang tidak kamu harapkan sama sekali

yang hatinya besar, tetapi hidupnya terlalu keras

untuk memoles citra.


Pada akhirnya, kebaikan bukan milik mereka yang terlihat putih,

tapi milik siapa saja yang tetap hadir

saat dunia terasa paling gelap.


Dan kalau dipikir-pikir,

hidup memang sengaja dibuat begitu

supaya kita berhenti percaya bahwa penampilan adalah nilai.

Karena kalau semua berjalan persis sesuai harapan,

kita tidak pernah belajar apa-apa.


Oleh : Rizqi


Wednesday, December 10, 2025

Pelukan Ibu, Tempat Semua Lelah Berhenti


 Bel sekolah berbunyi keras, membuyarkan keheningan kelas yang sejak tadi terasa menekan. Ardan berdiri cepat, mengambil tasnya, dan keluar dengan perasaan lega seolah seluruh beban langsung terangkat dari bahunya. Di luar, Reno dan Fikri sudah menunggunya. Tawa mereka pecah spontan, seperti kembang api yang menyala tanpa aba-aba.

Sore selalu menjadi waktu paling mereka tunggu.
Sore adalah jeda ruang untuk bernapas setelah seharian penuh pelajaran.
Bukan sekadar saat matahari mulai turun, tetapi juga waktu ketika kebebasan terasa menyentuh wajah seperti angin yang berlari tanpa henti.

“Gas ke lapangan basket, Dan!” seru Reno, matanya berbinar seperti anak kecil melihat camilan favoritnya didiskon.

Ardan tersenyum lebar. Ia melempar tas ke punggung dan berlari bersama kedua sahabatnya menuju lapangan kecil di tepi sungai. Lapangan itu memang tidak sempurna: garis cat sudah pudar, ringnya sedikit miring, tapi bagi mereka tempat itulah yang paling bisa menampung tawa.

Pertandingan dimulai.
Debu berputar di udara setiap kali mereka bergerak.
Bola memantul cepat, seperti jantung yang berdebar saat seseorang merasakan cinta pertamanya.

Ardan melompat, mengarahkan bola, dan bung! bola masuk mulus.

“Siiiip! King of the court!” teriak Fikri sambil tertawa puas.

Dalam momen itu, hidup terasa sangat sederhana.
Tidak ada pelajaran sulit, tidak ada drama dengan teman, tidak ada tugas yang menumpuk.
Yang ada hanya kebahagiaan kecil yang datang dari suara tawa dan sore yang terasa enggan pergi.

Setelah selesai bermain, mereka duduk di pinggir sungai. Air mengalir pelan, memantulkan warna senja yang lembut, membuat semuanya terlihat seperti adegan film yang penuh ketenangan.

“Kalau hidup selalu kayak gini ya, Dan…” ucap Reno pelan. “Pasti enak. Nggak ada drama, nggak ada pusing.”

Ardan memandang aliran sungai, tersenyum kecil.

“Hidup itu kayak sungai, No. Kadang tenang, kadang deras. Tapi kalau di jalanin bareng-bareng, jadi lebih ringan.”

Reno dan Fikri mengangguk. Mereka paham tanpa perlu banyak kata.

Saat Ardan pulang, ibunya sudah menunggunya di depan pintu. Senyumnya hangat, seperti pelukan yang bisa menenangkan hari paling berat sekalipun.

“Main sama teman, ya, Nak?”

“Iya, Bu,” jawab Ardan sambil tersenyum bangga. “Tadi aku menang basket!”

Ibunya tertawa kecil, suara yang terdengar penuh kasih.
“Ibu senang kamu bahagia.”

Ardan tahu, di balik senyum itu ada perjuangan besar yang tidak bisa ia bayangkan. Ibunya sedang melawan penyakit yang perlahan menguras tenaga, tapi ia tetap menjadi tempat paling nyaman untuk pulang.

Tawa teman adalah angin.
Tapi pelukan Ibu adalah rumah.

Malam itu, ketika Ardan hampir tertidur, ibunya duduk di tepi ranjang dan berbisik lembut,

“Jangan hilangkan masa remajamu, Dan. Nikmati. Tertawa. Bermimpi besar. Ibu ingin melihat kamu meraih semuanya.”

Ardan menatap ibunya, matanya berkilat seperti bintang yang baru muncul.

“Aku janji, Bu. Kita akan bahagia sama-sama.”

Dan jauh di dalam hatinya, Ardan menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang kuat menghadapi badai.
Hidup adalah tentang mensyukuri setiap sore yang tenang, setiap tawa yang sederhana, dan orang-orang yang selalu membuat kita ingin pulang.


Oleh : Arsakha



Saturday, December 6, 2025

Menghafal Al-Qur’an Terasa Susah? Apa Nih yang Salah?

 


Ketika santri ditanya, 

Sudah hafal berapa juz?”

“Alhamdulillah, sudah sampai juz 24”

Tapi kalau ditanya seperti ini,

“Sudah mutqin berapa juz?” 

“Emm, hehe…”

Dua pertanyaan yang sering bikin kita refleksi ya.

Bagi para penghafal Al-Qur’an, semangat ziyadah (menambah hafalan) sering kali lebih besar daripada semangat murojaahnya. Padahal, menjaga hafalan itu sama pentingnya dengan menambahnya. Orang yang malas muroja’ah mengatakan, “Hafalan lancar itu kan fadhol dari Allah.”

Eits… jangan salah!

Fadhol Allah nggak akan turun kalau kita sendiri malas nderes, malas murojaah, dan abai terhadap hafalan yang sudah Allah titipkan.

Lalu, kenapa menghafal terasa berat?

Banyak yang mengira sulitnya hafalan karena kurang waktu, kurang metode, atau karena tidak berbakat.

Padahal setelah direnungi, sering kali yang membuat hafalan terasa berat adalah niat yang kurang tepat.

Banyak santri yang mulai menghafal, menjadikan hafalan sebagai target angka, bukan sebagai bentuk ibadah. Hafalan jadi seperti tugas sekolah: harus setor, harus selesai, harus nambah. Bukan lagi ibadah yang mengalir dengan hati.

Padahal kalau kita lihat para salafusnas shalih, beliau itu menghafal dengan hati yang penuh ketundukan dan cinta pada Al-Qur’an. Mereka tidak hanya menghafal ayat, mereka menghafal sambil memurnikan niat, memperbaiki akhlak, dan menghidupkan ayat dalam kehidupan.

Yuk, Benahi Kembali niat kita dalam menghafal Al Qur’an Karena yang kita cari bukan sekadar hafalannya, tapi kedekatan dengan Allah melalui Kalam-Nya.

Sebagai penutup, bagaimanapun juga usaha yang kita lakukan dalam rangka menjaga hafalan Al-Qur’an harus diiringi juga dengan berdoa kepada Allah. Maka, disini ada do’a yang telah diajarkan oleh Abah KH. Aniq Muhammad Makki, B. Sc., MA. yang bisa diamalkan sebagai bentuk permohonan kita kepada Allah melalui wasilah Kanjeng Nabi Muhammad  ﷺ:

اللَّهُمَّ سَهِّلْ لَنَا فِيْ القُرْآنِ, فِيْ حِفْظِهٖ وَمُرَاجَعَتِهٖ وَمُدَارَسَتِهٖ وَتَعَلُّمِهٖ وَتَعْلِيْمِهٖ وَفَهْمِهٖ وَعَمَلِهٖ وَالتَّبَرُّكِ بِهٖ. وَاجْعَلْهُ شَفِيْعًا لَنَا فِيْ الدَّارَيْنِ, بِشَفَاعَةِ سَيِّدِ الثَّقَلَيْنِ. يَا رَسُوْلَ الله !!! إِنَّا نَتَوَسَّلُ بِكَ إِلٰى رَبِّنَا فِيْ قَضَاءِ حَاجَتِنَا إِشْفَعْ لَنَا, إِشْفَعْ لَنَا, إِشْفَعْ لَنَا يَا رَسُولَ الله.

Ya Allah, mudahkanlah bagi kami (segala urusan) dalam Al-Qur’an: dalam menghafalnya, mengulanginya (murāja‘ah), mempelajarinya bersama (mudārasah), mempelajarinya (ta‘allum), mengajarkannya (ta‘līm), memahaminya, mengamalkannya, dan mengambil keberkahan darinya. Jadikanlah ia sebagai pemberi syafaat bagi kami di dua negeri (dunia dan akhirat), dengan syafaat penghulu dua makhluk yang bernilai (manusia dan jin).

Wahai Rasulullah! Sesungguhnya kami bertawassul denganmu kepada Tuhan kami dalam memenuhi hajat-hajat kami. Berilah kami syafaat, berilah kami syafaat, berilah kami syafaat, wahai Rasulullah.”

Semoga Allah mudahkan lisan kita untuk membaca Al-Qur’an, hati kita untuk menjaganya, dan amal kita untuk mencerminkannya. Amiin. 


Oleh: Muhammad Abid Yakhsyallah


Tuesday, December 2, 2025

Guru yang Datang dari Hening


Senja hampir padam ketika seorang pemuda berdiri di tepi bukit yang sunyi, jauh di tengah hutan yang jarang dikunjungi manusia. Angin mengibaskan rambutnya yang kusut, sementara matanya yang merah menatap kosong ke hamparan pepohonan.

“Aku tidak sanggup lagi…” bisiknya, sebelum akhirnya ia berteriak sekuat-kuatnya, suara yang pecah oleh duka, “Mengapa Tuhan tidak adil?! Mengapa seluruh keluargaku diambil dan aku dibiarkan sendiri?! Mengapa?!”

Teriakan itu menggema ke lembah, lalu lenyap. Hening kembali menguasai bukit. Namun tak lama kemudian, terdengar langkah perlahan dari balik semak. Seorang kakek paruh baya muncul, membawa busur dan panah yang tampak tua namun terawat. Wajahnya berkerut, tetapi sorot matanya tajam seperti seseorang yang tahu jauh lebih banyak daripada yang ia ucapkan.

“Ikutlah denganku, anak muda,” katanya tanpa penjelasan.

Entah mengapa, pemuda itu menurut. Seakan ada sesuatu dalam suara si kakek yang membuatnya tidak mampu menolak. Mereka berjalan menembus semak dan ilalang, hingga tiba di sebuah celah hutan kecil. Di kejauhan, mereka melihat seekor harimau tengah mengejar rusa yang ketakutan.

Pemuda itu terpaku. Namun sebelum ia sempat berkata apa pun, sang kakek mengangkat busurnya dan, dalam satu gerakan tenang, melepaskan anak panah. Panah itu meluncur cepat, menembus tubuh harimau. Harimau itu mengaum terakhir kalinya, lalu rubuh ke tanah.

Pemuda itu tersentak. “Apa-apaan yang kau lakukan, Kek?! Mengapa kau membunuhnya tanpa alasan?!”

Kakek itu tidak menjawab. Ia hanya menatap tubuh harimau yang kini diam, lalu berkata lirih, “Datanglah ke rumahku malam nanti. Aku akan menunjukkan sesuatu.”

Malam turun perlahan. Di bawah sinar bulan yang pucat, pemuda itu menyusuri jalan setapak menuju rumah sang kakek. Bangunan itu kecil, hanya berupa satu ruangan dengan dinding kayu tua. Di bawah cahaya lampu minyak, ratusan laron beterbangan, sebagian menempel pada kaca, sebagian berjatuhan kehilangan sayap.

Ia melangkah masuk dan menemukan sang kakek duduk bersila di tengah ruangan, tenang seperti batu karang di tengah badai. “Kemarilah,” ujarnya pelan. “Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan.”

Kakek itu mengambil seekor laron yang telah kehilangan sayapnya. Serangga kecil itu merayap lemah di telapak tangannya. Tanpa ragu, sang kakek menekannya hingga tak bergerak lagi.

Pemuda itu tak mampu menahan diri. “Kek! Pagi tadi kau membunuh seekor harimau, dan sekarang kau membunuh laron yang bahkan tidak bersalah! Mengapa?!”

Sang kakek menatapnya lama. “Katakan padaku,” ujarnya lembut, “apakah tindakanku membunuh harimau itu baik?”

Pemuda itu menarik napas. “Ya… karena kau menyelamatkan rusa itu.”

Kakek itu mengangguk. “Lalu bagaimana jika harimau itu memiliki anak?”

Pemuda itu terdiam sejenak, kemudian menjawab pelan, “Kalau begitu… itu salah. Kau membuat anak-anaknya kelaparan.”

“Begitu.” Kakek itu melanjutkan, “Lalu bagaimana dengan laron yang kubunuh tadi?”

Pemuda itu menjawab cepat, “Itu pun salah. Laron itu tidak bersalah.”

Senyum tipis muncul di bibir sang kakek. “Tahukah kau, anak muda? Laron yang telah kehilangan sayap tidak akan pernah bisa berkembang biak lagi. Ia kehilangan daya tariknya. Dan meski ia mungkin hidup sampai pagi, ia tetap akan mati—dimakan semut, digerogoti perlahan tanpa daya.”

Pemuda itu menelan ludah. Ada sesuatu yang bergerak dalam dadanya, sesuatu yang ia coba hindari selama ini—pemahaman.

Sang kakek melanjutkan, “Begitu pula keluargamu. Mati tidak selalu buruk, dan hidup tidak selalu baik. Hanya Tuhan yang tahu apa yang terbaik. Kita hanya menjalani.”

Kata-kata itu membuat pemuda itu menunduk. “Terima kasih, Kek… Aku—aku mengerti sekarang.”

Kakek itu berdiri, bergerak menuju pintu dengan langkah senyap. Pemuda itu baru menyadari ketika sosok itu hampir hilang. “Tunggu, Kek!” Ia bangkit dan mengejarnya keluar.

Namun ketika ia sampai di luar gubuk, kakek itu sudah lenyap. Tidak ada jejak, tidak ada suara. Hanya angin malam yang berhembus pelan, seolah menutup tirai dari sebuah pelajaran yang tak akan pernah ia lupakan.


Oleh : Nizar