Di sebuah pondok besar di Semarang, Pondok Al-Fadhilah, tinggal seorang santri bernama Putra. Awalnya hidupnya berjalan seperti denyar lampu neon di malam hari—tenang, teratur, dan tak pernah memberi tanda akan padam. Rutinitas hariannya sederhana: mandi sebelum subuh, nongkrong di warung setelah sekolah, olahraga sore hari, dan bercerita horor bersama teman-temannya sebelum tidur. Ironisnya, cerita horor itu kelak seperti ramalan yang ia ciptakan sendiri.
Setelah hampir sembilan bulan tinggal di pondok, Putra mulai merasakan sesuatu yang ganjil. Perasaan itu seperti angin dingin yang tak terlihat, tapi selalu berhasil menyentuh tengkuk. Namun, ia memilih diam, menyimpan keganjilan itu seperti orang menyimpan surat yang tak ingin dibuka kembali.
Sampai akhirnya, pada suatu malam, keganjilan itu berubah menjadi teror nyata.
Ketika hendak pergi ke kamar mandi di lantai satu, lorong pondok terasa lebih sunyi dari biasanya. Sunyi yang bukan sekadar sepi, tapi seperti ada sesuatu yang sedang menahan napas. Dari kejauhan, Putra melihat bayangan berlari cepat dari satu lorong ke lorong lain—cepat seperti kilat yang tidak sempat menyentuh tanah. Ia mencoba mengabaikan, walaupun dadanya berdebar seperti pintu tua yang diketuk terlalu keras.
Saat masuk ke kamar mandi, suasana berubah lebih dingin lagi. Tiba-tiba BRAG! BRAG! BRAG!—pintu digebrak dari luar, keras dan berulang-ulang, seperti ada makhluk yang ingin memecahkannya dengan tangan kosong. Tubuh Putra gemetar hebat. Setiap gebrakan terdengar seperti dentuman palu yang memukul nyalinya satu per satu. Dengan sisa keberanian yang gelap-gelap terang, ia memutuskan keluar.
Namun, di luar tidak ada seorang pun. Hanya lorong panjang yang terasa seperti tenggorokan raksasa yang menelan hawa dingin.
Putra berlari menuju lantai tiga. Tetapi, ketika melewati lantai dua, ia melihatnya—sesosok makhluk tak kasatmata, samar, namun keberadaannya terasa lebih nyata daripada napasnya sendiri. Sosok itu berdiri diam, seakan menunggu. Dalam sekejap, Putra lari seperti seseorang yang baru sadar sedang dikejar bayangannya sendiri.
Sesampainya di kamar, Putra makin bingung. Kamar itu kosong. Sunyi. Seolah-olah pondok sedang menghapus jejak penghuninya. Ia segera turun ke taman belakang, tempat teman-temannya biasa nongkrong. Dan benar, semua temannya ada di sana… tetapi mereka tertidur pulas, terlalu pulas… seperti boneka yang disusun rapi tanpa roh.
Panik, Putra mencoba membangunkan mereka satu per satu. Tidak ada yang bergerak. Tidak ada yang bernapas lebih cepat. Tidak ada yang memberi tanda kehidupan. Mereka kaku seperti malam yang kehilangan bulan.
Saat Putra hendak membangunkan teman terakhir, sebuah rasa dingin merayap dari belakang, seperti tangan es yang menyentuh tulang belakangnya. Sebelum ia sempat berbalik—
Makhluk itu menyerangnya.
Sebuah rasa sakit menusuk dadanya, panas dan tajam, seperti ditusuk ribuan jarum sekaligus. Putra menjerit,
“AAAHHH… SAKITTT—!”
Dan dalam sekejap, teriakan itu padam.
Seperti lilin yang dipadamkan oleh angin yang tak tahu dari mana datangnya.
Nyawa Putra hilang malam itu.
Dan pondok kembali sunyi. Sunyi yang terasa… menunggu giliran berikutnya.
Oleh : Muktafin


0 comments: