Masyarakat Jawa dikenal kaya akan tradisi dan mitos, seperti cerita-cerita mistis, seperti wewe gombel, tuyul, dan lain sebagainya, juga persoalan weton, pantangan menikah di bulan tertentu, hingga kepercayaan terhadap roh halus. Mitos-mitos ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan diwariskan secara turun-temurun. Namun, bagaimana pandangan Islam kontemporer terhadapnya? Apakah mitos tersebut harus diyakini secara dogmatis, atau justru perlu disikapi secara kritis dan selektif?
1. Mitos sebagai Bagian dari Budaya.
Islam tidak menolak keberadaan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Dalam ushul fiqh terdapat kaidah “الأصل في الأشياء الإباحة” (pada dasarnya segala sesuatu itu boleh), kecuali jika ada dalil yang melarangnya. Oleh karena itu, budaya Jawa termasuk mitos-mitosnya dapat diterima selama tidak mengandung unsur syirik, tahayul, atau bertentangan dengan ajaran Islam.
Mitos dalam konteks ini dipahami sebagai simbol-simbol budaya yang tidak harus diyakini secara literal, tetapi bisa dipandang sebagai bentuk ekspresi sosial dan spiritual masyarakat.
2. Weton: Antara Budaya dan Keyakinan
Weton adalah sistem penanggalan tradisional Jawa yang digunakan untuk menentukan hari baik dalam berbagai urusan, seperti pernikahan atau memulai suatu usaha. Namun, jika kepercayaan terhadap weton diyakini bisa menentukan nasib atau keberuntungan secara mutlak, maka hal itu bisa tergolong syirik. Dalam QS. Al-An’am ayat 59 ditegaskan bahwa hanya Allah yang mengetahui perkara gaib, termasuk nasib seseorang.
وَعِندَهُۥ مَفَاتِحُ ٱلْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَآ إِلَّا هُوَۚ وَيَعْلَمُ مَا فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِۚ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍۢ فِى ظُلُمَـٰتِ ٱلْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍۢ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِى كِتَـٰبٍۢ مُّبِينٍۢ
Artinya: Kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahuinya selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).
Namun demikian, jika weton hanya dipakai sebagai referensi budaya atau penyesuaian sosial tanpa diyakini secara mistis, maka penggunaannya bisa ditoleransi dalam Islam.
3. Pantangan Menikah di Bulan Tertentu: Mitos atau fakta?
Beberapa masyarakat Jawa meyakini bahwa menikah di bulan-bulan tertentu, seperti bulan Syawal, Muharram (Suro), atau bulan Rabiul Awal (Maulid), dapat mendatangkan kesialan. Namun, pandangan ini tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam.
Rasulullah ﷺ sendiri menikahi Sayyidah Aisyah RA. Pada bulan Syawal dan menggaulinya pada bulan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada larangan menikah di bulan Syawal. Sebagaimana diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah RA:
عن عائشة رضي الله عنها قالت تزوجني رسول الله صلى الله عليه و سلم في شوال وبنى بي في شوال فأي نساء رسول الله صلى الله عليه و سلم كان أحظى عنده منى قال
Artinya: Sayyidah ‘Aisyah ra berkata: Rasulullah ﷺ menikahiku pada bulan Syawal dan mengadakan malam pertama pada bulan Syawal. Istri Rasulullah ﷺ mana yang lebih beruntung ketimbang diriku di sisi beliau? (HR Muslim).
Selain itu, menikah di bulan Rabiul Awal, bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW, juga tidak dilarang dalam Islam. Bahkan, menikah di bulan tersebut bisa menjadi bentuk ungkapan kecintaan terhadap Rasulullah ﷺ, karena pernikahan merupakan salah satu sunnah beliau.
Demikian pula, anggapan bahwa bulan Muharram (Suro) adalah bulan sial tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam.
Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk tidak mempercayai mitos atau pantangan selama itu tidak memiliki dasar yang konkrit dan bahkan menyelisihi syariat Islam.
4. Kepercayaan terhadap Makhluk Halus: Perspektif Tauhid
Mitos Jawa juga banyak berkaitan dengan kepercayaan terhadap makhluk halus seperti hantu, jin, dan roh leluhur. Islam mengakui keberadaan jin, namun ajaran Islam menekankan bahwa hanya Allah yang berkuasa atas segala sesuatu. Dalam QS. Al-Hajj ayat 53 dijelaskan bahwa godaan atau bisikan makhluk gaib adalah bentuk ujian bagi keimanan manusia;
لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِّلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ ۗ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقَاقٍۢ بَعِيدٍ.
Artinya: Dia (Allah) hendak menjadikan apa yang dilontarkan setan itu sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan hatinya keras. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu benar-benar dalam perselisihan yang jauh (dari kebenaran).
Karena itu, umat Islam tidaklah seharusnya untuk takut berlebihan atau meminta pertolongan kepada selain Allah.
5. Integrasi Mitos dan Religi dalam Praktik Sosial.
Dalam realitas sosial, banyak ritual Jawa yang menggabungkan mitos dengan ajaran Islam, seperti ruwatan atau slametan. Meskipun mengandung unsur budaya, ritual ini seringkali disertai doa-doa Islami dan niat yang lurus kepada Allah. Fenomena ini mencerminkan kemampuan masyarakat Jawa untuk mengakomodasi ajaran agama ke dalam tradisi leluhur secara harmonis.
Selama unsur ritual tersebut tidak bertentangan dengan akidah Islam, tidak mengandung kesyirikan, dan tidak merusak keyakinan, maka praktik ini masih dapat ditoleransi sebagai bagian dari ‘urf (adat).
6. Pandangan Ulama Kontemporer.
Ulama-ulama kontemporer menekankan pentingnya memilah antara budaya dan akidah. KH. Aniq Muhammad Makki, misalnya, menilai mitos sebagai bagian dari warisan budaya yang tidak perlu diyakini secara dogmatis. Selama tidak bertentangan dengan tauhid dan tidak mengarahkan pada perbuatan syirik, mitos dapat dikaji dan dihargai sebagai ekspresi kultural keislaman.
Mencontoh para Walisongo yang berhasil menyebarkan ajaran Islam yang harmonis dan damai dengan bingkai akulturasi budaya, sehingga Islam diterima dengan baik bagi masyarakat jawa.
"Arab digarap, Jawa digawa, barat diruwat" (Ajaran Islam disesuaikan, budaya Jawa dilestarikan, dan pengaruh Barat dipilah), merupakan pesan KH. Aniq Muhammad Makki sebagai pengingat kita agar selektif dan bijak dalam proses adaptasi atau percampuran budaya, khususnya dalam konteks agama, tradisi, dan modernitas.
Kesimpulan: Memilah dan Memahami
Mitos Jawa adalah warisan budaya yang memiliki nilai simbolik dan sosial. Islam tidak melarang keberadaan budaya, namun menolak jika budaya tersebut mengarah pada keyakinan yang menyimpang dari akidah. Umat Islam tidak diwajibkan untuk meyakini mitos Jawa secara dogmatis. Yang terpenting adalah menjaga kemurnian tauhid dan menyikapi budaya dengan bijak, menghargai nilai tradisional tanpa mengabaikan prinsip-prinsip Islam.
Dengan demikian, kita bisa tetap melestarikan kearifan lokal tanpa harus mengorbankan keimanan. Islam dan budaya dapat berjalan seiring selama keduanya ditempatkan pada porsi yang tepat.
Oleh: Al-Kamali.
0 comments: