Para santri muda berlatih menahan lapar, menjaga mata dari tidur, dan bersimpuh di malam-malam sunyi untuk mencari jawaban yang tidak tertulis di kitab dan tidak ditemukan di mesin pencari.
Tirakat bukan untuk pamer kesalehan, melainkan upaya menyentuh sesuatu yang jauh di dalam hati—sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan kuota internet dan tidak mungkin didapat hanya dengan scrolling.
Kini, suasana itu berubah.
Kita lapar bukan karena puasa, tapi karena lupa makan akibat terlalu lama bermain ponsel.
Kita terjaga bukan karena dzikir malam, tapi karena menonton tayangan sampai dini hari.
Kita diam, namun bukan dalam kontemplasi, melainkan karena lelah—pikiran kusut, hati kosong, mental lemah.
Zaman memang silih berganti, tetapi kegelisahan tetap sama. Bedanya, bentuknya berubah mengikuti zaman.
Kita hidup di tengah riuhnya notifikasi, chat, dan komentar yang tak kunjung usai.
Namun, anehnya, justru di tengah keramaian itu, banyak orang merasa makin sepi, makin kosong, makin mudah cemas, mudah iri, mudah letih—meski fisiknya tak ke mana-mana.
Banyak yang mencoba menenangkan diri: ada yang mendengarkan ASMR, ikut kelas meditasi, rehat sejenak dari media sosial, bahkan bepergian ke gunung atau laut.
Namun sering kali, semua itu hanya memberi ketenangan sementara. Rasa resah itu kembali datang, seakan menunggu di depan pintu.
Mengapa demikian? Banyak yang merasa sendiri meski ribuan followers menemani. Karena luka batin tidak bisa diobati dengan like, komentar, atau scroll. Ia butuh jeda. Ia butuh riyadah. Ia butuh… tirakat.
Tirakat di masa kini tentu tidak harus persis seperti para kiai dan sesepuh dahulu yang tidur di langgar, makan seadanya, atau berbulan-bulan dalam laku tapa.
Tapi kita bisa ngambil ruh-nya: menepi untuk mengerti diri. Menepi, bukan karena kabur. Tapi karena ingin pulang — pada batin yang tenang.
Tirakat zaman ini bisa berarti puasa dari hal-hal yang membuat batin keruh:
-
Puasa mencari validasi.
-
Puasa haus eksistensi.
-
Puasa dopamin dari notifikasi dan feeds.
Bentuknya pun sederhana: mematikan ponsel di jam tertentu, duduk diam tanpa distraksi, atau berani berkata jujur, “HARI INI AKU TIDAK PERLU TAHU SEMUA HAL. AKU HANYA INGIN WARAS.”
Maka, di tengah zaman yang bising ini, mungkin sunyi adalah satu-satunya suara yang layak kita dengarkan.
Karena kadang, untuk sembuh, kita tidak butuh banyak hiburan. Kita hanya perlu berhenti sejenak, mengambil napas panjang, dan duduk bersama hati kita sendiri, membaca kalam ilahi, untuk menggapai ketengangan hakiki.
"TIRAKAT BUKAN JADUL. IA JALAN PULANG. IA BUKAN SEMATA JAWABAN. TAPI KEBUTUHAN MENGAHADAPI ZAMAN."
Jika hidup kita terasa larut dalam arus digital, barangkali ini saatnya kita menata diri.
Bukan untuk mundur, tetapi untuk berdiri kembali—lebih tegak, lebih tenang.
Oleh: M. Muktafin Arzaqina - dibantu Tim Litbang.
Terima kasih atas tulisannya sebagai pengingat
ReplyDelete