Monday, September 15, 2025

Serial Inspirasi Nabi dalam Mendidik Manusia Seutuhnya : Memberi Contoh & Nasihat

Dalam perjalanan pendidikan, ada dua komponen yang tak pernah bisa dipisahkan: guru dan murid. Keduanya bagaikan matahari dan bumi—yang satu memberi cahaya kehidupan, yang lain menerima serta menumbuhkan kehidupan darinya. Ilmu sebesar apapun tidak akan sampai dengan baik jika tidak ada guru yang mampu menyampaikannya dengan hati, dan murid yang siap menerimanya dengan sepenuh hati juga.


Sayangnya, kini para pakar pendidikan tengah sibuk mengulik teori pendidikan Barat, mengejar metode-metode baru, bahkan menghabiskan waktu panjang untuk hal itu. Padahal, kita sering lupa bahwa sumber pendidik sejati sudah ada dalam sosok Rasulullah ﷺ. Beliau adalah gurunya para guru, yang langsung dididik oleh Allah ta’ala dengan kurikulum terbaik, yakni Al Quran. Allah sendiri menjadikan Nabi sebagai “uswah hasanah” (teladan yang baik). Karena itu, pantas kita menapaki petunjuknya dan mengikuti perjalanan sunnahnya, bagi siapa saja yang ingin belajar mendidik manusia seutuhnya- sehat fisiknya, terampil tangannya, cerdas akalnya, stabil emosinya, dan bahagia ruhaninya.

 

Saya teringat hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : 


‎«لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَتَبِعْتُمُوهُمْ» قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: «فَمَنْ؟» (رواه البخاري ومسلم)


Artinya: “Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti jejak orang-orang sebelum kalian dengan sebaik-baiknya. Sampai-sampai jika mereka masuk ke lubang biawak, kalian pun akan mengikutinya.” Para sahabat bertanya: ‘Ya Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani?’ Beliau menjawab: ‘Lantas siapa lagi?’”


Tak diragukan lagi, pendidikan adalah hak semua manusia. Namun, realitasnya sering kali kita justru lebih sibuk meniru sistem pendidikan dari luar, seakan-akan kearifan kita -sebagai umat islam- seperti tidak ada nilainya. Padahal Rasulullah ﷺ sudah mengingatkan bahwa umat Islam akan cenderung mengikuti jejak umat-umat sebelumnya, bahkan dalam hal-hal yang tidak bermanfaat, hingga tanpa sadar meninggalkan warisan pendidikan yang agung dari beliau.


Maka, penting bagi kita untuk menjadikan Nabi ﷺ sebagai sumber inspirasi pendidikan, bukan hanya menjadikan teori luar sebagai acuan.


       A. Metode pertama: Memberi Contoh & Nasihat

1. Perumpamaan Orang Mukmin dan Buah Utrujah


Rasulullah ﷺ. sering kali memperjelas nasihat-nasihatnya dengan bantuan contoh yang disaksikan, dialami, dan dirasakan langsung oleh para sahabat. Tujuannya agar nasihat tersebut lebih menyentuh hati dan lebih melekat dalam ingatan.


Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh sayyidina Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah ﷺ bersabda:


“Orang beriman yang suka membaca Al-Qur’an ibarat buah utrujah: aromanya wangi dan rasanya manis.


Orang beriman yang tidak suka membaca Al-Qur’an seperti buah kurma: rasanya manis namun tak beraroma.


Orang jahat yang suka membaca Al-Qur’an laksana raihanah: aromanya wangi namun rasanya pahit.


Dan orang jahat yang tidak suka membaca Al-Qur’an bagaikan hanzhalah: rasanya pahit dan tak beraroma.”


Secara tidak langsung, Rasulullah ﷺ membagi manusia menjadi empat. Saat menyimak penuturan beliau, tentu para sahabat akan memasang pendengaran baik-baik seraya ingin mengetahui kelompok mana di antara keempat kelompok tersebut yang dapat mereka gunakan untuk menimbang diri mereka.


Dari situ mereka mampu mengenali di mana posisi diri mereka. Timbangan ini membuat mereka ingin mengenali ciri masing-masing. Dari situ pula mereka ingin menjadi kelompok yang diharapkan. Betapa kuatnya motivasi dalam contoh yang disampaikan Rasulullah ﷺ!


2. Seseorang Akan Bersama yang Dicintainya


Dalam kesempatan lain, Rasulullah saw. kedatangan seorang laki-laki. Laki-laki itu berkata, “Wahai Rasul, bagaimana menurutmu tentang seorang yang mencintai suatu kaum namun ia belum pernah berjumpa mereka?”


Beliau menjawab:


‎اَلْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ


“Orang itu bersama orang-orang yang dicintainya.”


Jawaban Rasulullah ﷺ di atas menjadi contoh yang dapat disampaikan dalam setiap keadaan serupa dan penambah kecintaan kaum muslim kepada Rasulullah ﷺ supaya mereka bisa bersama-Nya di surga.


Oleh karena manusia ingin bersama orang-orang saleh, walaupun terkadang mereka lalai dalam beramal, namun dalam Islam mereka tidak diperbolehkan putus asa dalam meraih derajat tinggi. Karena itu, seseorang harus mencintai dan meyakini orang-orang saleh agar kelak bersama golongan mereka pada hari yang tidak ada lagi teman kecuali teman seiman dan saling mencintai karena Allah.


3. Kasih Sayang: Siapa yang Tidak Menyayangi, Tidak Akan Disayangi.


Suatu kali, Al-Aqra’ bin Habis melihat Nabi ﷺ mencium cucunya, sayyidina Hasan dan Husain. Dengan heran ia berkata:


“Wahai Rasulullah, aku punya sepuluh anak, tapi aku belum pernah mencium seorang pun dari mereka.”


Maka Rasulullah ﷺ menatapnya lalu bersabda:


‎«مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ» (رواه البخاري ومسلم)


“Barang siapa tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.”


Perhatikan bagaimana Nabi mendidik; beliau memberi contoh nyata dengan mencium cucunya, lalu menguatkannya dengan nasihat tegas. Di tengah budaya Arab yang kaku dan menganggap kelembutan sebagai kelemahan, Nabi justru menegaskan bahwa kasih sayang adalah inti pendidikan.


Dari tiga hadis ini kita belajar bahwa Rasulullah ﷺ mendidik bukan hanya dengan teori rumit, tetapi dengan contoh nyata dan nasihat penuh makna. Dalam mendidik, beliau tidak hanya mengajarkan ilmu, tapi juga menanamkan rasa.


Maka, bila kita ingin menjadi pendidik sejati—entah sebagai guru di kelas, orang tua di rumah, atau pemimpin di masyarakat—teladan terbaik tetaplah Rasulullah ﷺ. Jadilah pengajar yang hidup dalam teladan, bukan hanya kata. Karena sesungguhnya, ilmu yang paling mudah diserap adalah ilmu yang lahir dari hati dan diliputi dengan kasih sayang.


                                        ‏-Sejatinya, yang lahir dari hati akan sampai pada hati-


-Diterjemahkan dari kitab : asalib at tarbiyyah an nabawiyyah.


Oleh : Tim Litbang.


Thursday, September 11, 2025

Satu Hari Lebih Dekat Dengan Nabi 3 : Getaran Kerinduan

 

ثُمَّ إِنَّ بِلاَلاً رَأَى النَّبِيَّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِي مَنَامِهِ وَهُوَ يَقُوْلُ: (مَا هَذِهِ الجَفْوَةُ يَا بِلاَلُ؟ أَمَا آنَ لَكَ أَنْ تَزُوْرَنِي؟). فَانْتَبَهَ حَزِيْناً، وَرَكِبَ رَاحِلَتَهُ، وَقَصَدَ المَدِيْنَةَ، فَأَتَى قَبْرَ النَّبِيِّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فَجَعَلَ يَبْكِي عِنْدَهُ، وَيُمَرِّغُ وَجْهَهُ عَلَيْهِ، فَأَقْبَلَ الحَسَنُ وَالحُسَيْنُ، فَجَعَلَ يَضُمُّهُمَا، وَيُقَبِّلُهُمَا. فَقَالاَ لَهُ: يَا بِلاَلُ! نَشْتَهِي أَنْ نَسْمَعَ أَذَانَكَ. فَفَعَلَ، وَعَلاَ السَّطْحَ، وَوَقَفَ. فَلَمَّا أَنْ قَالَ: الله أَكْبَرُ، الله أَكْبَرُ، ارْتَجَّتِ المَدِيْنَةُ. فَلَمَّا أَنْ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ، ازْدَادَ رَجَّتُهَا. فَلَمَّا قَالَ: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، خَرَجَتِ العَوَاتِقُ مِنْ خُدُوْرِهِنَّ. وَقَالُوا: بُعِثَ رَسُوْلُ اللهِ. فَمَا رُؤِيَ يَوْمٌ أَكْثَرَ بَاكِياً وَلاَ بَاكِيَةً بِالمَدِيْنَةِ بَعْدَ رَسُوْلِ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مِنْ ذَلِكَ اليَوْمِ . 

(سير أعلام النبلاء، ص: 358)


Suatu hari, Sayyidina Bilal melihat Nabi Muhammad ﷺ di dalam mimpinya. Beliau bersabda kepadanya:

“Wahai Bilal, kenapa engkau begitu lama menjauh dariku? Tidakkah sudah saatnya engkau menziarahiku?”

Sayyidina Bilal pun terbangun dengan hati yang sedih. Ia segera menyiapkan tunggangannya lalu berangkat menuju Madinah. Sesampainya di sana, ia mendatangi makam Nabi Muhammad ﷺ. Di hadapan makam beliau, Sayyidina Bilal menangis tersedu-sedu dan mengusap-usapkan wajahnya di atasnya karena kerinduannya.

Tidak lama kemudian datanglah Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain (cucu Nabi ﷺ). Sayyidina Bilal pun memeluk keduanya dan mencium mereka dengan penuh kasih sayang. Lalu keduanya berkata kepadanya:

“Kami ingin mendengarkan azanmu, hai muazin Nabi, sebagaimana pada masa Rasulullah!”

Maka Sayyidina Bilal pun memenuhi permintaan mereka. Ia naik ke atas menara dan mulai mengumandangkan adzan.

Ketika ia mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu Akbar”, seluruh kota Madinah berguncang karena tangisan dan haru.

Ketika ia melanjutkan dengan “Asyhadu an la ilaha illallah”, tangisan semakin menjadi-jadi.

Dan saat ia mengucapkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, Bilal tak sanggup melanjutkannya.

Sementara itu, hampir semua penduduk Madinah keluar dari rumah (bahkan para gadis keluar dari rumah rumahnya), menuju ke masjid sambil berteriak: “Apakah Rasulullah telah diutus kembali?”

Hari itu, Madinah dipenuhi dengan tangisan. Belum pernah terlihat ada hari dengan tangisan dan kesedihan sebesar hari itu sejak wafatnya Rasulullah ﷺ. 

(Dikutip dari kitab Siyar  A'lam An-Nubala'  halaman 358).

Oleh : Al Ustadz Muhammad Iqbal Khauri.

Monday, September 8, 2025

Satu Hari Lebih Dekat Dengan Nabi 2 : Cinta yang Melebihi Segalanya

 

        Perang Uhud menjadi salah satu ujian besar bagi kaum Muslimin. Banyak sahabat yang gugur syahid, termasuk di antaranya para pemuka kaum Anshar. Di tengah kekacauan itu, terdapat sebuah kisah yang menyentuh hati tentang keteguhan cinta seorang wanita Anshar kepada Rasulullah .

و روى ان امرأة من الانصار قتل ابوها و اخوها و زوجهــا يــوم احد مع رسول الله صلى الله عليه و سلم فقالت : ما فعل رسول الله صلى الله عليه و سلم : قالوا : خيرا ، هو بحمد الله كما تحبين ، قالت : أرنيه حتى انظر اليه ، فلما رأته قالت : كل مصيبة بعدك جلل

“Ada seorang wanita dari kalangan Anshar yang kehilangan Ayah, Saudara dan Suaminya yang terbunuh Mati Syahid di perang Uhud saat berperang bersama Rasulullah . Lantas wanita bertanya (pada Sahabat yang lain): “Bagaimana keadaan Rasulullah ?” Para Sahabat menjawab: “Keadaan Rasulullah baik-baik saja, beliau dalam puji Allah (selamat, mendapat pertolongan dan sehat) seperti yang engkau lihat sebelumnya. Wanita berkata: “Tolong tunjukkan padaku dimana Rasulullah berada aku ingin melihatnya”. Maka tatkala wanita itu melihat Rasulullah , ia berkata: “Semua musibah (yang terjadi) setelah (aku melihat engkau selamat) itu terasa kecil”.

Kisah ini menggetarkan hati setiap mukmin. Seorang wanita yang kehilangan ayah, suami, dan saudaranya sekaligus, justru menemukan ketenangan ketika melihat Nabi selamat. Baginya, selama Rasulullah ada, selama risalah Allah masih terjaga, maka semua kehilangan dunia terasa ringan.

Inilah cinta sejati seorang mukmin. Cinta yang meletakkan Rasulullah di atas segala cinta. Cinta yang membuktikan bahwa iman tidak hanya sebatas kata, tetapi benar-benar menjadi pegangan hidup.

Nabi pernah bersabda:

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: «لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ، وَوَلَدِهِ، وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ»— (رواه البخاري ومسلم).

“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian hingga aku lebih ia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kisah ini bukan hanya cerita masa lalu. Ia adalah cermin bagi kita hari ini. Jika seorang wanita Anshar rela melewati duka besar demi memastikan keselamatan Rasulullah ﷺ, bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah menempatkan beliau di hati kita di atas segalanya?

Cinta kepada Rasulullah di zaman ini dapat kita wujudkan dengan cara:

  • Mengikuti sunnah beliau dalam ibadah, akhlak, dan kehidupan sehari-hari.

  • Membela ajaran beliau dengan ilmu, dakwah, dan perilaku yang baik.

  • Menjadikan beliau teladan dalam kesabaran, kasih sayang, dan keteguhan iman.

Oleh: Muhammad Iqbal Khauri.


Thursday, September 4, 2025

Sang Pembenar : Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq radhiyallahu 'anhu

   

 Lahir di Mekkah dua tahun setelah kelahiran Rasulullah ﷺ, Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq adalah salah satu tokoh paling terkemuka dari klan Bani Tamim, bagian dari suku Quraisy yang sangat disegani. Meskipun terlahir dengan nama Abdul Ka'bah—yang berarti 'hamba Ka'bah'—nama ini diubah oleh Rasulullah ﷺ menjadi Abdullah, sebuah nama yang lebih mulia dan bermakna 'hamba Allah'. Sejak kecil, beliau telah menunjukkan karakter yang luar biasa. Berbeda dengan pemuda Mekkah pada umumnya yang terbiasa dengan pesta, judi, dan minum-minuman keras, Sayyidina Abu Bakar menjalani hidup yang bersih dari hal-hal tersebut. Beliau adalah sosok yang cerdas, memiliki hati yang lembut, dan dikenal dengan kejujuran serta kesabaran yang tak tertandingi.

    Kemuliaan akhlaknya tercermin dalam profesinya sebagai seorang pedagang ulung. Dengan modal awal 40.000 dirham, beliau membangun kekayaan yang besar, namun bukan dengan cara curang. Kejujuran adalah modal utamanya. Beliau dikenal menepati janji dan memperlakukan semua orang, baik kawan maupun lawan, dengan adil. Kekayaannya tidak membuatnya sombong, melainkan menjadikannya lebih dermawan, gemar menolong, dan membebaskan orang-orang yang tertindas. Beliau adalah salah satu orang yang paling dihormati di Mekkah sebelum datangnya Islam.

Keislaman dan Gelar Mulia
    Ketika Rasulullah ﷺ memulai dakwahnya, Sayyidina Abu Bakar menjadi laki-laki dewasa pertama yang memeluk Islam tanpa keraguan sedikit pun. Keimanan yang langsung menancap di hatinya menunjukkan kedalaman pemahaman beliau tentang kebenaran. Beliau tidak memerlukan bukti, karena beliau telah mengenal kebenaran dalam diri Rasulullah ﷺ selama puluhan tahun persahabatan mereka.

    Keimanan Sayyidina Abu Bakar diuji dalam peristiwa Isra' dan Mi'raj. Ketika banyak penduduk Mekkah, bahkan sebagian kaum Muslim, ragu dan menertawakan cerita Rasulullah ﷺ tentang perjalanannya dalam semalam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan kemudian naik ke langit, namun Sayyidina Abu Bakar langsung membenarkannya. Dengan keyakinan penuh, ia berkata, "Jika ia yang mengatakannya, maka ia adalah orang yang benar." Dari sinilah beliau mendapatkan gelar yang abadi, "As-Siddiq", yang berarti 'yang berkata benar'. Gelar ini bukan sekadar julukan, melainkan pengakuan atas kebenaran imannya yang absolut.

    Pengorbanan Sayyidina Abu Bakar tidak hanya sebatas kata-kata. Beliau rela mengorbankan seluruh hartanya untuk perjuangan Islam. Dengan hartanya, beliau membebaskan budak-budak yang disiksa karena memeluk Islam, termasuk Bilal bin Rabah, yang kemudian menjadi salah satu muazin paling terkenal dalam sejarah Islam. Tindakannya ini menunjukkan komitmen totalnya pada dakwah.

Sahabat Setia dalam Hijrah dan Ketaatan Penuh
    Persahabatan antara Sayyidina Abu Bakar dan Rasulullah ﷺ adalah salah satu yang paling agung dalam sejarah. Ketika kaum kafir Quraisy merencanakan pembunuhan terhadap Rasulullah ﷺ, Sayyidina Abu Bakar adalah satu-satunya sahabat yang menemani beliau dalam perjalanan hijrah yang berbahaya dari Mekkah ke Madinah. Mereka bersembunyi di dalam Gua Tsur, di mana Sayyidina Abu Bakar menunjukkan kesetiaannya yang luar biasa. Beliau membersihkan gua dari segala macam serangga dan bahkan menutup lubang-lubang dengan kakinya, khawatir ada sesuatu yang membahayakan Rasulullah ﷺ. Bahkan ketika Rasulullah ﷺ meletakkan kepala di pangkuannya dan tertidur, Sayyidina Abu Bakar menahan rasa sakit akibat gigitan kalajengking demi tidak membangunkan beliau.

Kepemimpinan Sebagai Khalifah
    Setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, Sayyidina Abu Bakar terpilih sebagai khalifah pertama melalui musyawarah. Masa kepemimpinannya yang berlangsung selama dua tahun tiga bulan adalah masa yang sangat krusial bagi kelangsungan Islam. Beliau menghadapi dua tantangan besar yang mengancam kehancuran umat dari dalam:

  1. Perang Riddah (Perang Melawan Kemurtadan): Banyak kabilah Arab yang baru masuk Islam kembali murtad dan menolak membayar zakat setelah wafatnya Rasulullah ﷺ. Sebagian dari mereka bahkan mengangkat nabi-nabi palsu. Dengan ketegasan dan kebijaksanaan, Sayyidina Abu Bakar memimpin pasukan Muslim untuk memerangi mereka. Beliau berprinsip bahwa zakat adalah kewajiban yang tidak bisa dipisahkan dari syahadat. Berkat kepemimpinan beliau yang kuat, pemberontakan ini berhasil dipadamkan, dan persatuan umat Islam kembali tegak.

  2. Pembukuan Al-Qur'an: Dalam pertempuran melawan kaum murtad, banyak dari para Sahabat yang gugur, termasuk para huffaz (penghafal Al-Qur'an). Kekhawatiran akan hilangnya ayat-ayat suci mendorong Sayyidina Umar bin Khattab mengusulkan kepada Sayyidina Abu Bakar untuk mengumpulkan dan membukukan Al-Qur'an. Meskipun awalnya ragu karena ini adalah hal yang belum pernah dilakukan di zaman Rasulullah ﷺ, Sayyidina Abu Bakar akhirnya setuju. Beliau menugaskan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan semua lembaran Al-Qur'an, dari pelepah kurma, batu, tulang, hingga hafalan para Sahabat. Perintah ini menjadi salah satu kontribusi terbesar dan paling monumental dari beliau, yang menjaga keaslian dan kelestarian kitab suci umat Islam hingga hari ini.

Akhir Hayat dan Kemuliaa Tertinggi

    Setelah kepemimpinan yang penuh tantangan, Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq wafat pada tanggal 23 Agustus 634 M. Beliau mengembuskan napas terakhirnya di usia 61 tahun. Kehilangan beliau merupakan duka yang mendalam bagi seluruh kaum muslimin. Atas permohonannya, beliau dimakamkan di samping makam Rasulullah ﷺ, sebuah tempat terhormat yang mencerminkan kedekatan dan keagungan posisinya di sisi Rasulullah ﷺ.

    Sayyidina Abu Bakar meninggalkan warisan yang tak terhingga. Beliau adalah simbol kesetiaan tanpa syarat, pengorbanan tanpa batas, dan kepemimpinan yang tegas dan bijaksana. Rasulullah ﷺ pernah bersabda bahwa Sayyidina Abu Bakar adalah orang yang akan dipanggil dari semua pintu surga pada Hari Kiamat. Ini adalah bukti kehormatan tertinggi yang diberikan kepadanya, sebagai pengakuan atas segala pengabdian dan keteguhan imannya. Beliau adalah jembatan yang menghubungkan era kenabian dengan era kekhalifahan, memastikan ajaran Islam tetap tegak setelah wafatnya Rasulullah ﷺ.

oleh : Tim Litbang.

Wednesday, September 3, 2025

Sang Pembeda Antara Haq dan yang Bathil : Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu

 

    Kisah Sayyidina Umar bin Khattab adalah kisah tentang seorang tokoh yang pada awalnya sangat membenci Islam, namun kemudian menjadi salah satu pilar terkuatnya. Kisah ini menceritakan perjalanan beliau yang penuh gejolak, dari seorang yang paling menentang hingga menjadi pahlawan yang memuliakan Islam.

Awal Penentangan terhadap Islam

    Sebelum masuk Islam, Sayyidina Umar bin Khattab dikenal sebagai salah satu pemuka Quraisy yang paling kejam dan paling membenci ajaran tauhid. Ia adalah sosok yang disegani dan ditakuti, bersekutu erat dengan Abu Jahal, dan keduanya selalu kompak dalam menindas kaum Muslim. Saking kuatnya kebencian Sayyidina Umar, ia bahkan membuat jadwal harian khusus untuk menyiksa orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ, melakukan penyiksaan dengan kejam dan tanpa belas kasihan. Kebencian ini telah mendarah daging, diturunkan dari ayahnya, Khattab bin Amr bin Nufail, yang juga seorang pembenci ajaran tauhid.

Pergolakan Batin dan Peristiwa yang Mengubah Hati

    Pergolakan batin Sayyidina Umar dimulai suatu malam ketika ia sedang berpatroli. Dalam kegelapan, ia melihat seorang wanita bernama Ummu Abdillah, yang sedang menggendong anaknya, berusaha hijrah secara diam-diam melalui pegunungan yang sulit. Melihat seorang ibu berjuang sekuat tenaga, menanggung beban berat demi menjaga keimanannya, hati Sayyidina Umar yang keras mulai merasakan kegelisahan. Ia merasa ada yang salah dengan tindakannya selama ini. Namun, alih-alih merenung, ia memutuskan untuk mengakhiri masalah ini secara radikal, yakni membunuh Nabi Muhammad ﷺ.

    Di tengah perjalanan untuk melampiaskan niat jahatnya, Sayyidina Umar bertemu dengan Nu'aim bin Abdullah, seorang Muslim yang menyembunyikan keimanannya. Nu'aim membocorkan rahasia bahwa adik perempuan Sayyidina Umar, Fatimah, dan suaminya, Said bin Zaid, telah memeluk Islam. Mendengar berita tersebut, amarah Sayyidina Umar memuncak. Ia segera berbalik arah dan bergegas menuju rumah adiknya. Tanpa ragu, ia mendobrak pintu dan mendapati Fatimah serta suaminya sedang membaca Al-Qur'an, dipandu oleh guru ngaji mereka, Khabbab bin Al-Arat. Sayyidina Umar langsung memukuli Said dan mendorong Fatimah hingga ia terjatuh dan berdarah.

    Namun, Fatimah yang berlumuran darah justru menunjukkan keteguhan iman yang luar biasa. Dengan lantang, ia berteriak, "Wahai Umar, jika pun engkau membunuhku, ketahuilah, kami telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya!"

Sayyidina Umar Memeluk Islam

    Mendengar keteguhan hati adiknya yang luar biasa, hati Sayyidina Umar yang sekeras batu mulai luluh. Ia merasakan getaran aneh dan tiba-tiba saja merasa menyesal. Dengan lembut, ia meminta untuk diperlihatkan apa yang mereka baca. Fatimah, yang baru saja bangkit, meminta Sayyidina Umar untuk bersuci terlebih dahulu. Setelah itu, Sayyidina Umar mengambil lembaran yang berisi surat Thaha. Ia membaca ayat-ayat suci itu, dan keindahan serta kebenaran Al-Qur'an merasuk ke dalam relung hatinya.

طٰهٰ​ ۚ‏مَاۤ اَنۡزَلۡـنَا عَلَيۡكَ الۡـقُرۡاٰنَ لِتَشۡقٰٓى ۙ‏اِلَّا تَذۡكِرَةً لِّمَنۡ يَّخۡشٰى ۙ‏ تَنۡزِيۡلًا مِّمَّنۡ خَلَقَ الۡاَرۡضَ وَالسَّمٰوٰتِ الۡعُلَى ؕ‏ 

"Thaa Haa. Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau susah payah; melainkan sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), diturunkan dari (Allah) yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi."

    Ayat-ayat ini meluluhkan kekerasan hatinya dan mengubah pandangannya. Sayyidina Umar kemudian bertanya di mana ia bisa menemukan Nabi Muhammad ﷺ. Khabbab bin Al-Arat, yang sejak tadi bersembunyi di dalam rumah, keluar dan menuntun Sayyidina Umar ke Darul Arqam, sebuah tempat persembunyian para sahabat.

Di sana, Nabi Muhammad ﷺ menyambut Sayyidina Umar dengan pertanyaan yang menusuk kalbu, "Wahai Umar, apakah engkau akan menunggu azab Allah datang baru engkau mau beriman?" Pertanyaan itu diulang hingga tiga kali, dan akhirnya Sayyidina Umar berlutut, tak kuasa menahan gejolak di dadanya. Ia pun mengucapkan syahadat, "Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah." Seketika, para sahabat yang berada di dalam ruangan bertakbir dengan suara yang sangat keras hingga getarannya terdengar sampai ke Ka'bah.

Pahlawan Pembela Islam

    Setelah beriman, Sayyidina Umar tidak ragu sedikit pun. Ia langsung bertanya kepada Nabi Muhammad ﷺ, "Siapa orang yang paling membenci Islam selain diriku?" Para sahabat menjawab, "Abu Jahal." Sayyidina Umar segera mendatangi rumah Abu Jahal, dan dengan berani mengucapkan syahadat di depannya, membuat Abu Jahal terkejut dan membanting pintu. Tidak berhenti di situ, Sayyidina Umar lalu mencari Jamil bin Ma'mar, seseorang yang dikenal tidak bisa menyimpan rahasia, dan mengucapkan syahadatnya di hadapan banyak orang di sekitar Ka'bah. Sesuai dugaan, berita keislaman Sayyidina Umar menyebar dengan sangat cepat di seluruh Mekkah.

    Akibatnya, Sayyidina Umar dikeroyok oleh puluhan orang Quraisy dari pagi hingga sore selama berhari-hari. Namun, beliau tetap berdiri teguh, terus berteriak mengucapkan syahadatnya tanpa rasa takut. Keberanian dan ketabahannya membuat orang-orang Quraisy ketakutan, dan mereka akhirnya tidak lagi berani mengganggunya. Keislaman Sayyidina Umar bin Khattab ini menjadi tonggak penting yang menguatkan Islam dan mengabulkan doa Nabi Muhammad ﷺ yang meminta kepada Allah untuk memuliakan Islam dengan salah satu dari dua Umar, yaitu Umar bin Amr bin Hisyam (Abu Jahal) atau Umar bin Khattab.

Masa Kekhalifahan dan Keagungan Al-Faruq

    Setelah Sayyidina Umar bin Khattab mengucapkan syahadat, keislamannya tidak hanya mengubah pribadinya, tetapi juga mengubah wajah Islam secara keseluruhan. Ia menjadi kekuatan baru yang membuat Islam berani menampakkan diri. Ibnu Mas'ud, salah seorang sahabat, bahkan mengatakan, "Kami senantiasa menjadi mulia semenjak Islamnya Umar."

    Pasca wafatnya Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar bin Khattab diangkat menjadi khalifah kedua. Selama 10 tahun memimpin, beliau menunjukkan keteladanan yang luar biasa dan menorehkan sejarah gemilang bagi peradaban Islam. Beliau dijuluki Al-Faruq, yang berarti 'pembeda antara yang hak dan yang batil', sebuah julukan yang diberikan langsung oleh Nabi Muhammad ﷺ karena keberaniannya.

    Di bawah kepemimpinan beliau, wilayah kekuasaan Islam meluas dengan sangat pesat, mencakup wilayah seluas 1,5 juta km². Pasukan Muslim berhasil menaklukkan Kekaisaran Persia dan menguasai sebagian besar wilayah Kekaisaran Romawi, termasuk Syam dan Mesir. Sayyidina Umar adalah seorang ahli strategi perang yang ulung, namun kepemimpinannya tidak hanya terbatas pada militer.

    Beliau juga seorang pemimpin yang visioner dan adil. Beliau melakukan berbagai reformasi administratif yang fundamental, di antaranya:

  •  Pembentukan Sistem Pemerintahan: Sayyidina Umar membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa provinsi, menetapkan gubernur, dan mendirikan lembaga peradilan untuk memastikan tegaknya keadilan.
  •  Penetapan Kalender Hijriah: Untuk menyatukan umat Islam, beliau menetapkan kalender Islam yang dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ dari Mekkah ke Madinah.
  •  Baitul Mal (Kas Negara): Beliau mendirikan lembaga keuangan negara untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran, memastikan setiap warga negara mendapatkan haknya, termasuk memberikan santunan kepada fakir miskin dari kalangan Muslim, Yahudi, dan Nasrani.
  •  Pelayanan Publik: Beliau membangun infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan rumah peristirahatan bagi para musafir. Beliau juga mendirikan sekolah dan memberikan gaji kepada guru.

    Meskipun memimpin kekhalifahan yang begitu luas dan kaya, Sayyidina Umar tetap menjalani hidup yang sangat sederhana. Beliau sering berpatroli di malam hari untuk memastikan tidak ada rakyatnya yang kelaparan. Beliau tidak segan tidur di bawah pohon, mengenakan pakaian yang bertambal, dan makan roti gandum keras. Keadilan dan kesederhanaannya membuatnya dicintai oleh rakyatnya dan disegani oleh musuh-musuhnya.

Akhir Perjalanan dan Wafatnya Sang Khalifah

    Kisah hidup Sayyidina Umar bin Khattab berakhir tragis. Pada tanggal 26 Dzulhijjah tahun 23 Hijriah, saat sedang mengimami shalat Subuh di Masjid Nabawi, beliau ditusuk oleh seorang budak Majusi Persia bernama Abu Lu'lu'ah (Fairuz). Serangan itu dilakukan dengan belati bermata dua yang telah dilumuri racun. Sayyidina Umar terjatuh bersimbah darah setelah mendapatkan enam tusukan.

    Meskipun terluka parah, beliau tetap berupaya melanjutkan shalat dan sempat menunjuk Abdurrahman bin Auf sebagai penggantinya untuk mengimami shalat. Sebelum menghembuskan napas terakhir, beliau menunjukkan ketenangan luar biasa dan mengucapkan rasa syukurnya bahwa pembunuhnya bukanlah seorang Muslim.

    Sayyidina Umar bin Khattab wafat tiga hari setelah penusukan, meninggalkan warisan kepemimpinan yang adil dan berani. Atas permintaannya, beliau dimakamkan di samping makam Nabi Muhammad ﷺ dan Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq. Wafatnya Sayyidina Umar merupakan kehilangan besar bagi umat Islam, dan para sahabat, termasuk Ibnu Mas'ud, mengenangnya sebagai sosok yang telah menjadi benteng pelindung bagi umat.


Monday, September 1, 2025

Sang Pintu ilmu Rasulullah ﷺ : Sayyidina Ali karramallahu wajhah

Gelar dan Keistimewaan Sayyidina Ali

    Dalam narasi ini, Sayyidina Ali bin Abi Thalib dijuluki karramallahu wajhah, yang berarti 'semoga Allah memuliakan wajahnya'. Gelar ini disematkan karena beliau tidak pernah menggunakan matanya untuk melihat hal-hal yang buruk. Sebagai contoh, dalam sebuah duel, jika pakaian musuhnya tersingkap dan auratnya terlihat, Sayyidina Ali akan menghentikan duel tersebut dan memberikan kesempatan kepada musuhnya untuk membenahi pakaiannya terlebih dahulu, karena beliau tidak ingin melihat aib orang lain.

Kehidupan Awal dan Nasab

    Sayyidina Ali adalah putra dari Abu Thalib, yang merupakan paman dari Nabi Muhammad ﷺ. Beliau menikah dengan Sayyidah Fatimah Az-Zahra, putri kesayangan Rasulullah ﷺ, dan dari pernikahan ini lahir dua putra, yaitu Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein. Keduanya kelak dikenal sebagai pemimpin para pemuda di surga.

Sejak kecil, tepatnya saat berusia enam tahun, Sayyidina Ali diasuh oleh Nabi Muhammad ﷺ. Beliau tumbuh di bawah bimbingan langsung Rasulullah ﷺ, yang membentuknya menjadi pribadi yang sangat cerdas, berakhlak mulia, dan memiliki kecintaan yang tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya. Beliau merupakan anak laki-laki pertama yang memeluk Islam, pada usia sekitar 10 tahun, dan termasuk dalam golongan as-sabiqun al-awwalun (orang-orang yang pertama kali beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ).

Kepintaran, Kezuhudan, dan Keberanian dalam Perang

    Sayyidina Ali dijuluki Babul Ilmi (gerbang pengetahuan) karena kepandaiannya yang luar biasa. Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda, "Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya." Beliau sering bertindak sebagai juru tulis Rasulullah ﷺ. Sifatnya yang lain adalah kezuhudan dan kedermawanan, di mana beliau hidup sangat sederhana dan tidak suka menumpuk harta.

    Sayyidina Ali juga terkenal sebagai seorang yang sangat pemberani. Ketika kaum Quraisy berencana membunuh Nabi Muhammad ﷺ sebelum hijrah ke Madinah, Sayyidina Ali menggantikan posisi beliau di tempat tidur untuk mengelabui para pengepung. Aksi ini menunjukkan keberaniannya yang tak tertandingi dalam melindungi Rasulullah ﷺ. Beliau memiliki pedang yang sangat legendaris bernama Zulfikar. Beliau berpartisipasi dalam semua peperangan bersama Rasulullah ﷺ, kecuali Perang Tabuk, di mana beliau ditugaskan untuk menjaga kota Madinah.

Beberapa kisah heroik beliau dalam pertempuran :

  • Perang Badar: Sayyidina Ali berhadapan langsung dengan tiga pendekar dari kaum Quraisy yang paling ditakuti, yaitu Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabiah, dan Walid bin Utbah. Dengan gagah berani, Sayyidina Ali berhasil mengalahkan mereka semua.

  • Perang Khandaq: Dalam perang ini, kaum Quraisy memiliki seorang pendekar tangguh bernama Amr bin Abdi Wud. Ketika Amr menantang para sahabat, tidak ada yang berani maju kecuali Sayyidina Ali. Beliau maju dan berhasil mengalahkan Amr bin Abdi Wud, yang membuat para prajurit Quraisy lainnya gentar.

Masa Kekhalifahan dan Akhir Hidup

    Setelah meninggalnya Khalifah Utsman bin Affan, Sayyidina Ali dibaiat menjadi khalifah keempat dari Khulafaur Rasyidin. Salah satu jasanya yang paling penting adalah memerintahkan pengembangan ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) untuk mencegah kesalahan fatal dalam membaca Al-Qur'an dan Hadits, terutama karena banyak kaum non-Arab yang baru memeluk Islam.

    Sebagai pemimpin, Sayyidina Ali tetap rendah hati dan adil. Suatu ketika, baju zirah beliau hilang dan ditemukan di tangan seorang Yahudi. Sayyidina Ali tidak serta merta mengambilnya, melainkan mengajukan masalah ini ke pengadilan. Meskipun pengadilan awalnya memutuskan baju zirah itu milik orang Yahudi, orang Yahudi tersebut terkesima melihat keadilan Sayyidina Ali, yang rela melalui proses hukum untuk sesuatu yang jelas-jelas miliknya. Akhirnya, orang Yahudi tersebut mengakui bahwa ia telah mencuri baju zirah itu, dan sebagai hasilnya, ia mengembalikan baju zirah tersebut dan memeluk Islam.

    Sayyidina Ali bin Abi Thalib wafat pada tanggal 21 Ramadhan 40 Hijriah, atau 29 Januari 661 Masehi. Beliau dibunuh oleh seorang pengikut Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam di Masjid Kufah saat hendak melaksanakan shalat subuh. Meskipun ditikam dengan pedang beracun, Sayyidina Ali tetap menunjukkan akhlak mulia. Beliau berpesan kepada para sahabat agar Abdurrahman bin Muljam hanya dihukum setimpal atas perbuatannya, dan tidak disiksa lebih dari satu pukulan. Sayyidina Ali meninggal dua hari setelah kejadian tersebut. 

Oleh: Tim Litbang.