Dalam perjalanan pendidikan, ada dua komponen yang tak pernah bisa dipisahkan: guru dan murid. Keduanya bagaikan matahari dan bumi—yang satu memberi cahaya kehidupan, yang lain menerima serta menumbuhkan kehidupan darinya. Ilmu sebesar apapun tidak akan sampai dengan baik jika tidak ada guru yang mampu menyampaikannya dengan hati, dan murid yang siap menerimanya dengan sepenuh hati juga.
Sayangnya, kini para pakar pendidikan tengah sibuk mengulik teori pendidikan Barat, mengejar metode-metode baru, bahkan menghabiskan waktu panjang untuk hal itu. Padahal, kita sering lupa bahwa sumber pendidik sejati sudah ada dalam sosok Rasulullah ﷺ. Beliau adalah gurunya para guru, yang langsung dididik oleh Allah ta’ala dengan kurikulum terbaik, yakni Al Quran. Allah sendiri menjadikan Nabi sebagai “uswah hasanah” (teladan yang baik). Karena itu, pantas kita menapaki petunjuknya dan mengikuti perjalanan sunnahnya, bagi siapa saja yang ingin belajar mendidik manusia seutuhnya- sehat fisiknya, terampil tangannya, cerdas akalnya, stabil emosinya, dan bahagia ruhaninya.
Saya teringat hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
«لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَتَبِعْتُمُوهُمْ» قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: «فَمَنْ؟» (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti jejak orang-orang sebelum kalian dengan sebaik-baiknya. Sampai-sampai jika mereka masuk ke lubang biawak, kalian pun akan mengikutinya.” Para sahabat bertanya: ‘Ya Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani?’ Beliau menjawab: ‘Lantas siapa lagi?’”
Tak diragukan lagi, pendidikan adalah hak semua manusia. Namun, realitasnya sering kali kita justru lebih sibuk meniru sistem pendidikan dari luar, seakan-akan kearifan kita -sebagai umat islam- seperti tidak ada nilainya. Padahal Rasulullah ﷺ sudah mengingatkan bahwa umat Islam akan cenderung mengikuti jejak umat-umat sebelumnya, bahkan dalam hal-hal yang tidak bermanfaat, hingga tanpa sadar meninggalkan warisan pendidikan yang agung dari beliau.
Maka, penting bagi kita untuk menjadikan Nabi ﷺ sebagai sumber inspirasi pendidikan, bukan hanya menjadikan teori luar sebagai acuan.
A. Metode pertama: Memberi Contoh & Nasihat
1. Perumpamaan Orang Mukmin dan Buah Utrujah
Rasulullah ﷺ. sering kali memperjelas nasihat-nasihatnya dengan bantuan contoh yang disaksikan, dialami, dan dirasakan langsung oleh para sahabat. Tujuannya agar nasihat tersebut lebih menyentuh hati dan lebih melekat dalam ingatan.
Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh sayyidina Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Orang beriman yang suka membaca Al-Qur’an ibarat buah utrujah: aromanya wangi dan rasanya manis.
Orang beriman yang tidak suka membaca Al-Qur’an seperti buah kurma: rasanya manis namun tak beraroma.
Orang jahat yang suka membaca Al-Qur’an laksana raihanah: aromanya wangi namun rasanya pahit.
Dan orang jahat yang tidak suka membaca Al-Qur’an bagaikan hanzhalah: rasanya pahit dan tak beraroma.”
Secara tidak langsung, Rasulullah ﷺ membagi manusia menjadi empat. Saat menyimak penuturan beliau, tentu para sahabat akan memasang pendengaran baik-baik seraya ingin mengetahui kelompok mana di antara keempat kelompok tersebut yang dapat mereka gunakan untuk menimbang diri mereka.
Dari situ mereka mampu mengenali di mana posisi diri mereka. Timbangan ini membuat mereka ingin mengenali ciri masing-masing. Dari situ pula mereka ingin menjadi kelompok yang diharapkan. Betapa kuatnya motivasi dalam contoh yang disampaikan Rasulullah ﷺ!
2. Seseorang Akan Bersama yang Dicintainya
Dalam kesempatan lain, Rasulullah saw. kedatangan seorang laki-laki. Laki-laki itu berkata, “Wahai Rasul, bagaimana menurutmu tentang seorang yang mencintai suatu kaum namun ia belum pernah berjumpa mereka?”
Beliau menjawab:
اَلْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ
“Orang itu bersama orang-orang yang dicintainya.”
Jawaban Rasulullah ﷺ di atas menjadi contoh yang dapat disampaikan dalam setiap keadaan serupa dan penambah kecintaan kaum muslim kepada Rasulullah ﷺ supaya mereka bisa bersama-Nya di surga.
Oleh karena manusia ingin bersama orang-orang saleh, walaupun terkadang mereka lalai dalam beramal, namun dalam Islam mereka tidak diperbolehkan putus asa dalam meraih derajat tinggi. Karena itu, seseorang harus mencintai dan meyakini orang-orang saleh agar kelak bersama golongan mereka pada hari yang tidak ada lagi teman kecuali teman seiman dan saling mencintai karena Allah.
3. Kasih Sayang: Siapa yang Tidak Menyayangi, Tidak Akan Disayangi.
Suatu kali, Al-Aqra’ bin Habis melihat Nabi ﷺ mencium cucunya, sayyidina Hasan dan Husain. Dengan heran ia berkata:
“Wahai Rasulullah, aku punya sepuluh anak, tapi aku belum pernah mencium seorang pun dari mereka.”
Maka Rasulullah ﷺ menatapnya lalu bersabda:
«مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ» (رواه البخاري ومسلم)
“Barang siapa tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.”
Perhatikan bagaimana Nabi mendidik; beliau memberi contoh nyata dengan mencium cucunya, lalu menguatkannya dengan nasihat tegas. Di tengah budaya Arab yang kaku dan menganggap kelembutan sebagai kelemahan, Nabi justru menegaskan bahwa kasih sayang adalah inti pendidikan.
Dari tiga hadis ini kita belajar bahwa Rasulullah ﷺ mendidik bukan hanya dengan teori rumit, tetapi dengan contoh nyata dan nasihat penuh makna. Dalam mendidik, beliau tidak hanya mengajarkan ilmu, tapi juga menanamkan rasa.
Maka, bila kita ingin menjadi pendidik sejati—entah sebagai guru di kelas, orang tua di rumah, atau pemimpin di masyarakat—teladan terbaik tetaplah Rasulullah ﷺ. Jadilah pengajar yang hidup dalam teladan, bukan hanya kata. Karena sesungguhnya, ilmu yang paling mudah diserap adalah ilmu yang lahir dari hati dan diliputi dengan kasih sayang.
-Sejatinya, yang lahir dari hati akan sampai pada hati-
-Diterjemahkan dari kitab : asalib at tarbiyyah an nabawiyyah.
Oleh : Tim Litbang.
0 comments: