Sunday, August 31, 2025

Menantu Pertama Rasulullah ﷺ : Sayyidina Abul Ash bin Ar-Rabi' Radhiyallahu 'Anhu

 

    Sayyidina Abul Ash bin Ar-Rabi' adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad yang memiliki kisah hidup unik dan penuh dengan pelajaran berharga. Beliau dikenal sebagai menantu kesayangan Rasulullah, suami dari putri sulung beliau, sayyidah Zainab binti Sayyidina Muhammad. Kisah cinta dan keimanannya melewati berbagai rintangan, termasuk perbedaan keyakinan.

Berikut adalah ringkasan kisah sayyidina Abul Ash bin Ar-Rabi':

Latar Belakang dan Pernikahan

    Sayyidina Abul Ash bin Ar-Rabi' berasal dari Bani Abdu Syams, suku Quraisy yang terpandang di Mekah. Beliau dikenal sebagai seorang pedagang yang sukses, jujur, dan terpercaya. Nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah pada kakek buyut mereka, Abdu Manaf. Ibu sayyidina Abul Ash, Halah binti Khuwailid, adalah saudari kandung dari sayyidah Khadijah, istri Nabi Muhammad. Hal ini menjadikan Sayyidina Abul Ash memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan keluarga Nabi.

    Sayyidina Abul Ash menikahi sayyidah Zainab binti Muhammad sebelum masa kenabian. Pernikahan mereka berlangsung atas permintaan sayyidah Khadijah, yang sangat menyayangi Sayyidina Abul Ash seperti putranya sendiri. Keduanya saling mencintai dan hidup bahagia.

Perbedaan Keyakinan dan Ujian

    Ketika Nabi Muhammad menerima wahyu dan diangkat menjadi Rasul, sayyidah Zainab segera memeluk Islam. Namun, Sayyidina Abul Ash menolak ajakan istrinya untuk mengikuti agama baru tersebut. Karena beliau khawatir dicap sebagai pengkhianat oleh kaumnya. Meskipun demikian, beliau tetap menghormati dan tidak pernah mengganggu keyakinan sayyidah Zainab. Beliau juga menolak bujukan kaum Quraisy untuk menceraikan sayyidah Zainab, hal ini menunjukkan kesetiaan beliau sebagai seorang suami. 

    Ketika kaum muslimin hijrah ke Madinah, sayyidah Zainab diizinkan oleh Rasulullah untuk tetap tinggal di Mekah bersama suaminya yang belum beriman.

Perang Badar dan Kalung Sayyidah Khadijah

    Pada Perang Badar, Sayyidina Abul Ash terpaksa bergabung dengan barisan kaum musyrikin Quraisy untuk melawan kaum muslimin. Namun, pasukan Quraisy mengalami kekalahan, dan Sayyidina Abul Ash menjadi salah satu tawanan.

    Untuk membebaskan Sayyidina Abul Ash, sayyidah Zainab mengirimkan tebusan dari Mekah. Tebusan itu berupa perhiasan, termasuk sebuah kalung yang sangat familiar bagi Rasulullah. Ternyata, kalung itu adalah hadiah pernikahan dari sayyidah Khadijah kepada sayyidah Zainab. Melihat kalung tersebut, Rasulullah menjadi sangat terenyuh dan teringat akan mendiang istrinya.

    Dengan penuh kasih, Rasulullah berbicara kepada para sahabatnya, "Jika kalian bersedia membebaskan tawanan ini dan mengembalikan hartanya, maka aku akan menghargai kalian." Para sahabat pun setuju dan membebaskan Sayyidina Abul Ash tanpa tebusan, atas dasar penghormatan kepada Nabi. Sebagai syarat pembebasan, Sayyidina Abul Ash berjanji akan mengizinkan sayyidah Zainab untuk hijrah ke Madinah.

Perjalanan Hijrah Sayyidah Zainab dan Cobaan Berat

    Setelah kembali ke Mekah, Sayyidina Abul Ash menepati janjinya. Beliau mengantar sayyidah Zainab keluar kota untuk diserahkan kepada utusan Rasulullah yang menunggu. Namun, dalam perjalanan, sayyidah Zainab diserang oleh kaum Quraisy. Beliau didorong hingga terjatuh dari untanya dan mengalami luka serius, yang menyebabkan keguguran kandungannya. Insiden ini menunjukkan betapa besar kebencian kaum Quraisy terhadap Islam dan keluarga Nabi.

    Meski demikian, sayyidah Zainab berhasil melanjutkan perjalanannya dan sampai dengan selamat di Madinah. Beliau tinggal di sana bersama ayahnya, sementara Sayyidina Abul Ash tetap di Mekah.

Sayyidina Abul Ash Masuk Islam

   Beberapa tahun kemudian, pada tahun 6 Hijriah, Sayyidina Abul Ash kembali melakukan perjalanan dagang ke Syam. Di tengah perjalanan pulang, kafilah dagangnya dicegat oleh pasukan muslimin di bawah pimpinan Sayyidina Zaid bin Haritsah. Semua harta dagangan Sayyidina Abul Ash disita sebagai rampasan perang. Sayyidina Abul Ash berhasil meloloskan diri dan diam-diam pergi ke Madinah untuk menemui sayyidah Zainab. Beliau meminta perlindungan dari istrinya.

    Pagi harinya, sayyidah Zainab mengumumkan di depan masjid bahwa Beliau telah memberikan perlindungan kepada sayyidina Abul Ash. Rasulullah mengizinkan perlindungan tersebut. Sayyidina Abul Ash memohon kepada Rasulullah agar harta dagangannya dikembalikan karena harta itu milik banyak orang Quraisy yang telah mempercayainya. Rasulullah kemudian meminta para sahabat untuk mengembalikan semua harta dagangan sayyidina Abul Ash. Para sahabat pun dengan sukarela memenuhi permintaan itu.


    Dengan integritas dan kejujuran yang luar biasa, sayyidina Abul Ash membawa kembali seluruh harta tersebut ke Mekah dan menyerahkannya kepada pemiliknya masing-masing. Setelah menunaikan amanah, beliau mengumumkan keislamannya.

    Keislaman sayyidina Abul Ash itu tentu saja membuat Sayyidah Zainab gembira. Rasulullah sadar bahwa keduanya masih saling mencintai. Maka kemudian, Rasulullah menyerahkan kembali Sayyidah Zainab kepada sayyidina Abul Ash. Merujuk kitab Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyidi al-Mursalin karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, ada dua pendapat terkait dengan rujuknya sayyidina Abul Ash dengan Sayyidah Zainab.  Pertama, Rasulullah mengembalikannya pada nikah yang pertama. Artinya, tidak ada akad nikah lagi. Kedua, rujuknya Sayyidah Zainab dengan sayyidina Abul Ash disertai dengan ‘akad nikah baru’.

    Keduanya kembali bersatu dan hidup bahagia sebagai sepasang suami istri muslim. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Setahun setelah mereka bersatu kembali, sayyidah Zainab wafat. Sayyidina Abul Ash sangat sedih dan terpukul atas kepergiannya.

    Kisah sayyidina Abul Ash bin Ar-Rabi' adalah contoh nyata dari kesetiaan, kejujuran, dan keimanan yang akhirnya datang. Kisah cinta yang kuat antara beliau dan sayyidah Zainab juga menjadi salah satu cerita paling mengharukan dalam sejarah Islam.

Oleh: Tim Litbang.

Saturday, August 30, 2025

Pembela Setia Rasulullah ﷺ : Sayyidina Zubair bin Awwam Radhiyallahu ‘Anhu

Latar Belakang dan Awal Keislaman

     Sayyidina Zubair bin Awwam dilahirkan pada tahun 594 M, di tengah keluarga terpandang Quraisy. Ayahnya, Awwam bin Khuwailid, adalah seorang tentara pemberani, sementara ibunya, Sayyidah Shafiyah binti Abdul Muthalib, merupakan bibi kandung dari Nabi Muhammad ﷺ. Dari ibunyalah         Sayyidina Zubair mewarisi keberanian yang luar biasa. Sayyidah Shafiyah mendidiknya dengan keras, menanamkan prinsip bahwa rasa takut hanya pantas ditujukan kepada Allah, bukan kepada makhluk. Pendidikan inilah yang membentuk Sayyidina Zubair menjadi pribadi yang tidak kenal gentar.

     Pada usia yang sangat muda, 15 tahun, Sayyidina Zubair telah menjadi salah satu dari tujuh orang pertama yang memeluk Islam, yang dikenal sebagai assabiqunal awwalun. Keislaman ini menjadikannya salah satu sosok terpenting dalam sejarah Islam awal. Nabi Muhammad ﷺ sendiri sangat          mencintainya dan menjulukinya "Hawariyyun", yang artinya pengikut setia. Beliau bahkan pernah bersabda bahwa Sayyidina Zubair akan menjadi tetangga beliau di surga.

Pengorbanan dan Kegigihan di Jalan Allah

     Keberanian Sayyidina Zubair diuji pertama kali ketika tersebar rumor palsu bahwa Nabi Muhammad ﷺ telah dibunuh oleh kaum Quraisy. Mendengar kabar yang menyesakkan hati ini, Sayyidina Zubair yang saat itu masih remaja, segera menghunuskan pedangnya, menjadi orang pertama yang berani melakukan hal tersebut demi membela Islam. Ia bersumpah dengan mata berkaca-kaca bahwa jika berita itu benar, ia akan menebas semua kepala kaum Quraisy. Namun, ketika ia mendapati Nabi Muhammad ﷺ dalam keadaan baik-baik saja, air matanya berubah menjadi haru.

     Pengorbanannya tidak berhenti di situ. Setelah keislamannya diketahui, ia menjadi sasaran siksaan keji dari kaum kafir Quraisy. Ia pernah disiksa dengan cara digulung di dalam tikar dan dibiarkan sesak napas di tengah kepulan asap. Siksaan ini bertujuan untuk memaksanya meninggalkan Islam, tetapi Sayyidina Zubair tetap teguh pada imannya.

     Kegigihan dan keberaniannya terus terlihat di medan perang. Ia tidak pernah absen dari setiap peperangan yang dipimpin oleh Nabi Muhammad ﷺ. Tubuhnya penuh dengan bekas luka pedang dan tombak yang menjadi saksi bisu perjuangannya. Salah satu momen paling heroik terjadi dalam Perang Yarmuk, di mana ia sendirian menyerbu pasukan Romawi yang berjumlah 100.000 prajurit. Keberaniannya ini tidak hanya memukau kawan, tetapi juga membuat musuh gentar.

Wafat dan Warisan yang Mulia

     Sayyidina Zubair menghembuskan napas terakhirnya pada tahun 656 M (36 Hijriyah) saat Perang Jamal berkecamuk. Ia gugur sebagai syahid dalam keadaan sedang menunaikan salat. Ia ditikam dari belakang oleh sekelompok orang yang ingin perang terus berkecamuk dan tidak menginginkan perdamaian.

     Saat meninggal, Sayyidina Zubair meninggalkan utang sebesar 2,2 juta dinar. Utang ini bukan berasal dari pinjaman pribadi, melainkan dari uang titipan umat yang ia kelola sebagai bisnis. Dengan integritas yang tinggi, ia selalu mencatat setiap titipan uang sebagai utang yang harus ia bayar. Berdasarkan perhitungan nilai mata uang modern, jumlah utang tersebut setara dengan 4,97 triliun rupiah.

     Setelah wafat, putranya, Sayyidina Abdullah bin Zubair, mengambil alih tanggung jawab tersebut. Dengan menjual semua aset yang ditinggalkan ayahnya, termasuk tanah dan properti yang sangat berharga, Sayyidina Abdullah berhasil mengumpulkan lebih dari 50 juta dinar. Jumlah ini setara dengan hampir 113 triliun rupiah, atau hampir 25 kali lipat dari jumlah utang ayahnya. Seluruh utang pun terbayar lunas, membuktikan tidak hanya kekayaan yang dimiliki Sayyidina Zubair, tetapi juga kejujuran dan amanah yang diwariskannya kepada sang putra.

Oleh: Tim Litbang.


Friday, August 29, 2025

Singa Betina dari Perang uhud : Sayyidah Nusaibah binti Ka'ab Radhiyallahu 'Anha

Halo para pembaca setia Website Al Fattah!

    Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang hingga detik ini masih melimpahkan kepada kita nikmat iman, Islam, dan kesempatan untuk terus meneladani sosok-sosok mulia dalam sejarah Islam.

    Di serial 'Mengenal Sahabat Nabi Episode Keempat' kali ini, kita akan menyelami kisah salah satu figur pahlawan wanita yang luar biasa, yaitu Sayyidah Nusaibah binti Ka'ab al-Maziniyyah raḍiyallāhu 'anhā. Beliau adalah simbol ketangguhan, keberanian, dan pengorbanan yang tak tergantikan. Saat kaum laki-laki berperang di garis depan, Sayyidah Nusaibah dengan gagah berani ikut serta, menunjukkan bahwa semangat jihad dan kecintaan pada agama tidak mengenal batasan gender. Kisahnya yang heroik dalam Perang Uhud, di mana beliau menjadi perisai hidup bagi Rasulullah ﷺ, telah menginspirasi jutaan umat Islam sepanjang masa. Lebih dari itu, beliau juga dikenang sebagai figur wanita yang berilmu dan mendidik putra-putrinya untuk menjadi pejuang tangguh di jalan Allah.

    Sayyidah Nusaibah binti Ka'ab, atau yang dikenal dengan nama Ummu Umarah, adalah salah satu figur perempuan paling inspiratif dalam sejarah Islam. Beliau berasal dari Bani Najjar di Madinah, sebuah suku yang memiliki kedudukan terpandang. Ayah beliau bernama Ka'ab bin Amr dan ibu beliau bernama Rabab binti Abdullah. Kehidupan keluarga beliau dipenuhi keberkahan karena mereka menjadi salah satu keluarga pertama di Madinah yang menerima dakwah Islam, berkat peran sahabat Nabi, Sayyidina Mushab bin Umair, yang diutus oleh Rasulullah ﷺ.

    Sayyidah Nusaibah pernah menikah sebanyak dua kali. Pernikahan pertamanya dengan Zaid bin Asyim memberinya dua putra, Abdullah dan Habib. Setelah suaminya wafat, ia menikah lagi dengan Gaziah bin Amr dan dikaruniai dua anak, Tamim dan Khaulah. Keimanan sayyidah Nusaibah sangat kuat, dibuktikan dengan kehadirannya sebagai satu dari tiga perempuan yang ikut serta dalam Bai'at Aqabah II, sebuah ikrar janji yang dilakukan oleh 73 penduduk Madinah di hadapan Rasulullah ﷺ.

Keberanian di Medan Perang Uhud

    Peran sayyidah Nusaibah dalam Perang Uhud adalah salah satu kisah keberanian yang paling legendaris. Pada awalnya, ia tidak berada di garis depan, melainkan bertugas di belakang sebagai tim logistik dan medis, menyediakan air, makanan, dan merawat para prajurit yang terluka.

    Namun, situasi perang berubah drastis. Pasukan Muslim mulai terdesak, dan Nabi Muhammad ﷺ terpisah dari pasukannya. Melihat Rasulullah ﷺ sendirian dan dikelilingi oleh musuh, sayyidah Nusaibah tidak ragu. Beliau segera mengambil perisai dan pedang yang tergeletak di medan perang lalu maju ke garis depan. Beliau berdiri sebagai perisai hidup bagi Rasulullah ﷺ, mengayunkan pedangnya dengan gagah berani untuk menghalau setiap serangan yang datang.

    Aksi heroiknya ini membuat Rasulullah ﷺ sangat kagum. Beliau bahkan memuji sayyidah Nusaibah dengan berkata, "Sungguh, sayyidah Nusaibah jauh lebih baik, jauh lebih mahir dibanding Si Fulan, Si Fulan, Si Fulan itu."

    Di tengah pertempuran, putra sayyidah Nusaibah, Abdullah, terluka. Dengan sigap, sayyidah Nusaibah mengobati lukanya dan menyemangatinya untuk kembali berjuang. Tak hanya itu, ketika Rasulullah ﷺ menunjukkan siapa musuh yang telah melukai putranya, sayyidah Nusaibah dengan kemarahan yang membara langsung mengejarnya dan berhasil membalaskan dendam.

    Puncak pengorbanan sayyidah Nusaibah terjadi ketika beliau menahan pedang musuh dengan tubuhnya sendiri untuk melindungi Rasulullah ﷺ. Akibatnya, beliau menderita luka parah, yang diriwayatkan berjumlah 12 hingga 20 luka di seluruh tubuhnya, termasuk luka yang sangat dalam di leher.

    Setelah Perang Uhud berakhir, Rasulullah ﷺ menjenguknya. Ketika ditanya apa yang ia harapkan sebagai balasan atas pengorbanannya, sayyidah Nusaibah dengan tulus menjawab, "Ya Rasulullah, hanya satu yang saya harapkan. Doakanlah saya agar kelak menjadi tetanggamu di surga."

Perjuangan di Perang Yamamah dan Akhir Hayat

    Meskipun Rasulullah ﷺ telah wafat, semangat perjuangan sayyidah Nusaibah tidak pernah padam. Beliau tetap berpartisipasi dalam pertempuran-pertempuran penting, termasuk Perang Yamamah melawan nabi palsu, Musailamah al-Kadzab.

    Dalam perang ini, sayyidah Nusaibah kehilangan putranya, Habib, yang ditangkap dan dibunuh secara keji oleh Musailamah karena tetap teguh pada keimanannya. Kematian putranya justru membakar semangat juang sayyidah Nusaibah. Meskipun usianya sudah lanjut (sekitar 52 tahun), beliau meminta izin kepada Khalifah Abu Bakar untuk ikut bertempur. Di medan perang, beliau mengalami serangan yang menyebabkan salah satu lengannya terputus. Sayyidah Nusaibah baru berhenti bertempur setelah Musailamah al-Kadzab berhasil terbunuh.

    Perang Yamamah menjadi pertempuran terakhirnya. Beliau wafat setahun kemudian, pada tahun 13 Hijriah, di masa kekhalifahan sayyidina Abu Bakar. Diriwayatkan bahwa beliau wafat dalam keadaan tersenyum, mengakhiri hidupnya sebagai seorang pejuang yang penuh keimanan dan pengorbanan. Kisah sayyidah Nusaibah binti Ka'ab tetap menjadi pengingat tentang ketangguhan, keberanian, dan kesetiaan seorang perempuan yang berjuang di jalan Allah.

Oleh: Tim Litbang.

Thursday, August 28, 2025

Sang Penjaga Rahasia Nabi : Sayyidina Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu 'Anhu

 

    Halo para pembaca setia Website Al Fattah!

    Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang hingga detik ini masih melimpahkan kepada kita nikmat iman, Islam, dan kesempatan untuk terus menebar kecintaan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

  Di serial 'Mengenal Sahabat Nabi Episode Ketiga' kali ini  kita akan menyelami kisah salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sangat masyhur, yaitu Sayyiduna Hudzaifah bin al-Yaman raḍiyallāhu ‘anhu. Beliau memiliki jasa besar bagi umat Islam, bahkan hingga detik ini. Berkat keberanian, kecerdasan, dan keteguhannya, Islam semakin berkembang di Madinah, bahkan sebelum kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam peristiwa hijrah. Lebih dari itu, Sayyidina Hudzaifah juga dikenang sebagai sahabat yang banyak meriwayatkan hadits-hadits tentang fitnah akhir zaman, sehingga menjadi pelita bagi umat Islam untuk memahami berbagai ujian kehidupan.

    Sayyidina Hudzaifah termasuk generasi awal yang beriman kepada Rasulullah . beliau dikenal cerdas, bijak, dan memiliki keberanian yang luar biasa. Berbeda dengan banyak sahabat lain, keislamannya tidak menimbulkan penentangan keras dari kaumnya, sehingga beliau bisa lebih leluasa mendampingi Nabi .

Julukan: Penjaga Rahasia Nabi     Beliau dijuluki Ṣāḥib as-Sirr (صاحب السرّ), artinya penjaga rahasia, karena Rasulullah mempercayakan kepadanya nama-nama orang munafik di Madinah. Tidak ada seorang pun sahabat yang mengetahui daftar itu kecuali  Sayyidina Hudzaifah. Karena itu, setiap kali ada sahabat meninggal, Khalifah ʿUmar bin al-Khaṭṭāb رضي الله عنه sering memperhatikan apakah  Sayyidina Hudzaifah ikut menshalatkannya atau tidak. Jika  Sayyidina Hudzaifah tidak ikut, maka orang itu diduga termasuk golongan munafik. Keberanian di Medan Perang      Sayyidina Hudzaifah ikut serta dalam banyak pertempuran besar:    • Perang Uhud: Ayahnya, al-Yamān, gugur di medan perang akibat tertimpa pedang salah satu kaum muslimin sendiri yang keliru mengenalinya.  Sayyidina Hudzaifah dengan lapang dada memaafkan para sahabat yang tidak sengaja membunuh ayahnya, bahkan memohonkan ampunan bagi mereka.
    Perang Khandaq: perang Rasulullah mengutus  Sayyidina Hudzaifah untuk menyusup ke tengah pasukan musuh pada malam hari guna memata-matai keadaan Quraisy. Beliau melaksanakan misi itu dengan penuh keberanian dan berhasil kembali membawa kabar penting tanpa diketahui musuh.
Ilmu tentang Fitnah      Sayyidina Hudzaifah dikenal sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis tentang fitnah dan tanda-tanda akhir zaman. Beliau sendiri pernah berkata:
“Orang-orang bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang keburukan agar aku dapat menjauhinya.” Hal ini menunjukkan kecerdasannya dalam memahami zaman dan pentingnya mengenali keburukan supaya tidak terjerumus di dalamnya. Jabatan di Masa Khalifah     Pada masa kekhalifahan ʿUmar ibn al-Khaṭṭāb رضي الله عنه,  Sayyidina Hudzaifah diangkat sebagai gubernur Kufah. Beliau memimpin dengan amanah, zuhud, dan keadilan, meskipun selalu merasa khawatir akan fitnah dunia.
Wafat      Sayyidina Hudzaifah wafat di al-Madāʾin (Irak, dekat Baghdad sekarang) pada tahun 36 H / 656 M, hanya beberapa hari setelah terbunuhnya Khalifah ʿUtsmān رضي الله عنه. Menjelang wafat, beliau berkata penuh haru: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu aku lebih mencintai kefakiran daripada kekayaan, lebih mencintai kerendahan hati daripada kemuliaan, lebih mencintai kematian daripada kehidupan. Ya Allah, jika Engkau hendak mendatangkan fitnah kepada umat ini, maka ambillah aku kepada-Mu tanpa terkena fitnah itu.”
Doanya dikabulkan, dan beliau meninggal dunia dengan tenang.

Oleh: Tim Litbang


Wednesday, August 27, 2025

Kisah Sahabat yang Kewafatannya Menggetarkan 'Arsy : Sayyidina Sa’ad bin Muadz Radhiyallahu 'Anhu

    Halo sobat Al Fatah website! Alhamdulillah kita semua masih diberi Allah nikmat yang begitu agung hingga saat ini, yakni kekuatan untuk menyiarkan maulid kekasih kita tercinta, Nabi agung Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.

    Di serial 'Mengenal Sahabat Nabi Episode Kedua' kali ini kita akan mengenal seorang sahabat nabi yang sangat masyhur, yaitu sayyiduna Sa'ad bin Mu'adz radhiyallahu 'anhu, yang telah berjasa besar bagi umat islam hingga detik ini, dan berkat jasa beliau juga, saat itu agama islam sangat berkembang di kota Madinah, bahkan sebelum Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hijrah.

    Kisah Sayyidina Sa'ad ibn Mu'adz ini adalah sebuah narasi tentang keimanan yang kokoh, keberanian, dan pengorbanan yang luar biasa. Cerita ini dimulai saat beliau berusia 31 tahun, setahun sebelum kedatangan Rasulullah di Madinah. Beliau adalah pemimpin suku Bani Aus, salah satu suku terpandang yang berkuasa di Madinah.

Masuknya sayyidina Sa'ad ke dalam Islam

     Keislaman sayyidina Sa'ad bermula ketika Rasulullah mengutus sayyidina Mush'ab bin Umair, seorang sahabat senior, untuk berdakwah di Madinah. Berita kedatangan sayyidina Mush'ab sampai ke telinga Sa'ad, yang saat itu masih memegang teguh keyakinan nenek moyangnya. Dengan geram, ia memerintahkan sahabatnya, sayyidina Usaid bin Hudhair, untuk menemui sayyidina Mush'ab dan memintanya untuk menghentikan dakwahnya di pemukiman mereka.

    Sayyidina Usaid pun pergi, namun setelah beliau mendengarkan penjelasan sayyidina Mush'ab tentang ajaran Islam dan merasakan keindahan bacaan Al-Qur'an, hatinya tersentuh. Beliau langsung bersyahadat dan memeluk Islam. Sayyidina Usaid kemudian kembali kepada sayyidina Sa'ad, dan dengan cerdik, beliau berbohong bahwa beliau menemukan kaum Bani Haritsah sedang bersekongkol melawan sayyidina Sa'ad, memprovokasi sayyidina Sa'ad untuk menemui sayyidina Mush'ab sendiri.

    Ketika sayyidina Sa'ad bertemu sayyidina Mush'ab, beliau berkata dengan nada menantang. Namun, sayyidina Mush'ab dengan lembut berkata, "Apakah engkau tidak ingin duduk sebentar untuk mendengar?" Sayyidina Sa'ad pun terdiam. Begitu sayyidina Mush'ab mulai menjelaskan Islam dan membacakan Al-Qur'an, hati sayyidina Sa'ad yang keras perlahan luluh. Beliau merasakan kekhusyukan dan ketenangan yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya. Wajahnya yang semula muram berubah menjadi cerah. Kemudian, tanpa ragu beliau mengucapkan syahadat.

    Setelah memeluk Islam, sayyidina Sa'ad kembali kepada kaumnya dan bertanya, "Apa pendapat kalian tentang diriku?" Mereka menjawab serempak, "Engkau adalah pemimpin kami, orang yang paling kami ikuti pendapatnya, dan orang yang paling kami percaya." Sayyidina Sa'ad melanjutkan, "Tidak ada seorang pun di antara kalian, baik laki-laki maupun perempuan, yang boleh berbicara denganku sebelum kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya." Malam itu juga, berkat pengaruhnya yang kuat, seluruh kaum Bani Aus menjadi Muslim.

Kepahlawanan dan Pengorbanan

    Sayyidina Sa'ad bin Mu'adz adalah sosok yang sangat setia dan berani dalam membela Islam. Dalam Perang Badar, beliau mewakili kaum Anshar dan menegaskan dukungan tak terbatas kepada Rasulullah dengan mengatakan mereka akan tetap maju bersama-Nya, bahkan jika beliau "menjerumuskan diri ke dalam lautan." Di Perang Uhud, sayyidina Sa'ad berdiri tegak sebagai tameng hidup, melindungi Rasulullah dari serangan musuh.

    Momen kepahlawanannya yang paling dikenang terjadi saat Perang Khandaq. Saat itu, kota Madinah dikepung oleh pasukan musuh. Sayyidina Sa'ad terkena panah di lengan yang merobek urat nadinya, sebuah luka parah yang hampir merenggut nyawanya.

    Setelah Perang Khandaq, sayyidina Sa'ad ditunjuk oleh Rasulullah untuk menjadi hakim atas Bani Quraizhah yang berkhianat. Dengan tegas, beliau memutuskan agar laki-laki dewasa dihukum mati dan wanita serta anak-anak dijadikan tawanan, sebuah keputusan yang kemudian ditegaskan oleh Rasulullah sebagai kehendak Allah.

Wafat dan Kemuliaan Setelah Kematian

    Kondisi luka sayyidina Sa'ad semakin memburuk setelah perang. Sebelum wafat, beliau memanjatkan dua doa yang luar biasa. Pertama, beliau berdoa agar tidak dicabut nyawanya sampai beliau melihat nasib Bani Quraizhah selesai. Kedua, beliau berdoa agar musibah yang menimpanya menjadi jalan baginya untuk menemui syahid, dan agar Allah memberinya kesempatan untuk kembali menghadapi kaum Quraisy jika masih ada peperangan.

    Darah dari luka beliau terus mengalir tanpa henti hingga membanjiri lantai masjid. Sayyidina Sa'ad bin Mu'adz akhirnya wafat. Bahkan dalam sabdanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallah menegaskan,

 قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اهْتَزَّ عَرْشُ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ لِمَوْتِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "'Arsy Allah 'azza wajalla bergetar karena kematian Sa'd bin Mu'adz."

    Mendengar kabar kewafatan sayyidina Sa'ad bin Muadz, Rasulullah segera bergegas menuju rumahnya karena khawatir para malaikat akan mendahului mereka dalam memandikan jenazah sayyidina Sa'ad.

    Ketika jenazahnya diusung, para sahabat merasa sangat ringan, seolah-olah mereka mengusung kapas. Rasulullah menjelaskan bahwa jenazah sayyidina Sa'ad terasa ringan karena 70.000 malaikat ikut mengusungnya. Kemudian, Rasulullah bersabda bahwa jika ada orang yang selamat dari himpitan kubur, maka sayyidina Sa'ad adalah orangnya. Diriwayatkan juga bahwa tanah di kuburan sayyidina Sa'ad berubah menjadi wangi.

    Menurut Ibnu Syihab Az-Zuhri, tiga hal yang membuat sayyidina Sa'ad bin Mu'adz begitu istimewa di hadapan Allah adalah keyakinannya yang teguh pada semua ajaran Rasulullah, kekhusyukannya yang luar biasa dalam salat, serta ketelitiannya dalam memastikan bahwa setiap makanan yang ia konsumsi berasal dari usaha yang halal.

Oleh: Tim Litbang.

Monday, August 25, 2025

Satu Hari Lebih Dekat Dengan Nabi : Cinta Itu Adalah..

   

 Sayyidina Zaid bin Datsinah رضي الله عنه adalah salah satu sahabat Rasulullah yang dikenal karena keteguhan imannya dan cintanya yang luar biasa kepada Nabi

    Beberapa tahun setelah Rasulullah dan kaum Muslimin hijrah ke Madinah, terjadi Perang Badar. Dalam perang ini, banyak tokoh kafir Quraisy yang terbunuh. Sebagai balas dendam, kaum Quraisy merancang strategi untuk menyakiti Rasulullah dengan cara yang kejam. Mereka ingin membunuh seorang sahabat Nabi secara terbuka di depan umum, agar kaum Muslimin merasa gentar dan takut.

    Dalam peristiwa tersebut sayyidina Zaid bin Datsinah ditangkap oleh kafir Quraisy dan dibawa ke luar tanah haram untuk dieksekusi mati. Ketika itu, beliau telah dijual oleh orang-orang suku Huzail kepada penduduk Makkah, yang sebagian besar ingin membalas kematian kerabat mereka dalam Perang Badar.

    Di antara mereka ada Sufyan bin Umayyah, yang ingin membalas kematian ayahnya, Umayyah bin Khalaf. Sayyidina Zaid dibawa ke Tan’im, sebuah tempat di luar batas tanah haram. Di sanalah beliau akan dibunuh.

و لما أخرج اهل مكة زيد بن الدثنة رضى الله عنه من الحرام ليقتلوه قال له ابو سفيان : أنشدك الله يا زيد اتحب ان محمدا الآن عندنا مكانك يضرب عنقه و أنت في أهلك؟ فقال زيد : و الله ما أحب ان محمدا الآن في مكانه الذي هو فيه تصيبه شوكة و انا جالس في أهلى، يعنى ان ما اصابني في طريقه من المحنة لم ينقص لى شيئا فـي حقـه مــن المحبـة، فقال ابو سفيان : ما رأيت من الناس أحدا يحب أحــدا كـحـب أصحـاب محمد محمدا.

    ketika Sahabat Zaid Bin Datsinah ditawan dan hendak dibunuh oleh kafir Quraish, Abu Sufyan berkata kepadanya: "wahai Zaid.. apakah kamu rela posisimu sekarang digantikan oleh Muhammad, sedangkan engkau duduk aman bersama keluargamu?" 

"Demi Allah aku tidak rela". Jawab Zaid. "aku tidak akan pernah rela Rasulullah tertusuk oleh duri sedangkan aku duduk santai bersama keluargaku.”

    Kalimat itu membuat seluruh Quraisy terdiam. Abu Sufyan, yang terbiasa melihat keberanian, mengakui dengan jujur: "Aku belum pernah melihat seseorang mencintai orang lain seperti para sahabat  Muhammad mencintai  Muhammad." 

    Tak lama setelah itu, sayyidina Zaid pun dibunuh di Tan’im, namun beliau pergi dengan senyum kemenangan, karena cintanya kepada Rasulullah tetap utuh sampai akhir napasnya.

Oleh: Muhammad Iqbal Khauri.

Kisah Da'i Pertama Di Dunia : Sayyidina Mus'ab bin Umair Radhiyallahu 'Anhu

    Halo teman-teman setia Al Fatah website! gimana nih masih semangat kan dalam menyambut bulan kelahiran Nabi agung kita semua, yakni Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?

    Kali ini, di serial 'Mengenal Sahabat Nabi Episode pertama' kita akan mengenal seorang sahabat nabi yang sangat masyhur, yaitu sayyiduna mus'ab bin umair radhiyallahu 'anhu, yang telah berjasa besar bagi umat islam hingga detik ini, dan yang menjadi da'i ila Allah pertama umat muslim, berkat dakwah beliau yang lembut dan santun hingga akhirnya agama islam mudah diterima oleh seluruh penduduk madinah saat itu, dimana merekalah cikal bakal para sahabat yang menyambut kedatangan nabi saat pertama tiba di Madinah.

Kehidupan Awal yang Penuh Kemewahan

    Sebelum masuk Islam, sayyidina Mush'ab bin Umair adalah seorang pemuda dari keluarga terpandang di Mekah, putra dari Umair bin Hasyim dan Khunas binti Malik. Ia hidup dalam kemewahan dan dimanja oleh ibunya. Penampilannya sangat menawan, dengan kulit terawat, pakaian halus, dan selalu mengenakan parfum mahal dari Syam. Pakaian dan sepatunya diimpor dari Yaman, menunjukkan status sosialnya yang tinggi. Bahkan, saking harumnya, orang Mekah bisa mengenali keberadaannya hanya dari jejak wanginya.

Memeluk Islam dan Ujian Keimanan

    Hidupnya berubah drastis saat beliau mendengar dakwah Nabi Muhammad. Beliau diam-diam menemui Rasulullah di Darul Arqam dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Ketika ibunya mengetahui keislamannya, beliau sangat marah dan menyiksa sayyidina Mush'ab, serta mencabut semua kemewahan yang dimilikinya. Tubuhnya menjadi kurus, kulitnya bersisik, dan pakaiannya lusuh. Suatu ketika, Rasulullah melihat kondisi sayyidina Mush'ab yang hanya memakai pakaian ditambal dengan kulit dan meneteskan air mata.

Menjadi Da’i Pertama

    Meskipun hidup dalam kesederhanaan, keimanan sayyidina Mush'ab tetap teguh. Beliau memiliki cita-cita mulia untuk melanjutkan dakwah Rasulullah. Kesempatan itu datang ketika beliau ditunjuk sebagai da'i pertama yang dikirim ke Madinah. Dengan strategi yang cerdas, sayyidina Mush'ab berdakwah di sana, berhasil mengislamkan para petinggi suku seperti Usaid bin Hudhair dan Saad bin Muadz. Melalui usahanya, seluruh penduduk Madinah akhirnya memeluk Islam dalam waktu yang relatif singkat.

Kematian Mulia di Perang Uhud

    Puncak pengorbanan sayyidina Mush'ab terjadi saat Perang Uhud. Beliau bertugas membawa bendera kaum muslimin. Ketika seorang musuh bernama Ibnu Qami'ah menyerangnya dan mengira beliau adalah Rasulullah, sayyidina Mush'ab tetap teguh mempertahankan bendera meskipun kedua tangannya tertebas. Dengan sisa tenaganya, beliau memeluk bendera dengan kedua sikunya hingga akhirnya beliau syahid setelah ditebas di dada. Saat jasadnya akan dikuburkan, kain kafan yang tersedia tidak cukup panjang untuk menutupi seluruh tubuhnya. Atas perintah Rasulullah, wajahnya ditutup dengan kain dan kakinya ditutupi dengan tanaman. Sayyidina Mush'ab bin Umair, yang dulunya hidup dalam kemewahan, wafat dalam kesederhanaan namun mendapatkan kemuliaan yang tak terhingga.

Oleh: Tim Litbang

Sunday, August 24, 2025

Keajaiban Cinta Pemuda dan Maulid

Al Imam Sayyid Bakri Syatha’ Ad-Dimyathi رحمه الله dalam I'anahnya mengkisahkan sebuah hikayat akan seorang pemuda yang gemar memuliakan peringatan Maulid Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

( وَحُكِيَ ) أَنَّهُ كَانَ فِيْ زَمَانِ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ هَارُوْنَ الرَّشِيْدِ شَابٌّ فِي الْبَصْرَةِ مُسْرِفٌ عَلَى نَفْسِهِ وَكَانَ أَهْلُ الْبَلَدِ يَنْظُرُوْنَ إِلَيْهِ بِعَيْنِ التَّحْقِيْرِ لِأَجْلِ أَفْعَالِهِ الْخَبِيْثَةِ غَيْرَ أَنَّهُ كَانَ إِذَا قَدِمَ شَهْرُ رَبِيْعِ الْأَوَّلِ غَسَلَ ثِيَابَهُ وَتَعَطَّرَ وَتَجَمَّلَ وَعَمِلَ وَلِيْمَةً وَاسْتَقْرَأَ فِيْهَا مَوْلِدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَامَ عَلَى هَذَا الْحَالِ زَمَانًا طَوِيْلًا ثُمَّ لَمَّا مَاتَ سَمِعَ أَهْلُ الْبَلَدِ هَاتِفًا يَقُوْلُ اُحْضُرُوْا يَا أَهْلَ الْبَصْرَةِ وَاشْهَدُوْا جَنَازَةَ وَلِيٍّ مِنْ أَوْلِيَاءِ اللهِ فَإِنَّهُ عَزِيْزٌ عِنْدِيْ فَحَضَرَ أَهْلُ الْبَلَدِ جَنَازَتَهُ وَدَفَنُوْهُ فَرَأَوْهُ فِي الْمَنَامِ وَهُوَ يَرْفُلُ فِيْ حُلَلِ سُنْدُسٍ وَاِسْتَبْرَقٍ فَقِيْلَ لَهُ بِمَ نِلْتَ هَذِهِ الْفَضِيْلَةَ قَالَ بِتَعْظِيْمِ مَوْلِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Diceritakan, pada zaman Amirul Mukminin Harun Ar-Rasyid ada seorang anak muda di kota Bashrah. Ia melewati batas dalam perbuatannya (berlebih-lebihan), sehingga penduduk kota Bashrah menatapnya dengan pandangan merendahkan karena perbuatannya yang buruk, hanya saja jika setiap kali masuk bulan Rabiul Awal (maulid) ia selalu mencuci baju yang dikenakannya, memakai wewangian, berhias diri. Ia membuat walimah dan meminta agar dibacakan Maulid Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 

Begitulah yang ia lakukan setiap masuk bulan Rabiul Awal.

Kemudian ketika kematian menjemput anak muda tersebut, penduduk kota Bashrah mendengar suara tanpa rupa, berkata: “Wahai penduduk Bashrah, hadirilah dan saksikanlah jenazah wali diantara wali-wali Allah, karena dia menurutku adalah orang yang mulia”.

Maka penduduk kota Bashrah pun menghadiri jenazahnya dan menguburnya dengan baik. Kemudian mereka bermimpi bertemu dengan anak muda tersebut, dia berada di dalam kenikmatan besar, dia berpakaian sutera. Kemudian dia ditanyai “Dengan sebab apa engkau mendapat kehormatan ini semua?” dia menjawab, “Berkat mengagungkan kelahiran baginda Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ".

(Dikutip dari kitab I’anatuththalibin juz 3 halaman 365).

Oleh : Tim Litbang.


Thursday, August 21, 2025

Mondok tapi Mager? Rugi Dong!

      

         Hai sobat-sobat santri! Bagaimana kabar kalian? Semoga sehat selalu yak..

    Siapa disini yang sudah krasan mondoknya? Mondok itu seru bukan? Saking nyamannya kehidupan di pondok sampai tidak kerasa sudah bertahun-tahun menimba ilmu di pondok pesantren. 


    Coba kita instrospeksi diri, sudah berapa lama waktu mondok dan apa kegiatan kita sehari hari. Apakah kita di pondok memanfaatkan waktu yang ada? Atau malah hanya membuang-buanng waktu? Memang ada riwayat yang kurang lebih "sengganggur-ngganggurnya kita di pondok itu tetap dapat rahmat dari Allah karena masih dihitung sebagai seseorang yang tholibul ilmi". Tapi, mau sampai kapan kita pakai dalil itu? Bukankah lebih baik lagi kalau di pondok memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.


    Pesantren bukan hanya tempat untuk tidur, makan, lalu menunggu waktu pulang. Mondok adalah kesempatan emas untuk menimba ilmu, melatih kemandirian, dan menempa diri agar menjadi pribadi yang matang secara akhlak dan wawasan. Sayangnya, tidak sedikit santri yang justru menyia-nyiakan waktu dengan mangan turu tok (makan tidur saja), sehingga potensi besar yang ada di pesantren terlewat begitu saja. Maka simaklah poin-poin penting dibawah ini.


1. Pesantren: tempat pembentukan karakter

    Di Pondok Pesantren, santri belajar tentang Akhlak, Khidmah kepada guru atau kyai, kitab kuning, menghafal Al-Qur’an, berlatih berorganisasi, dan lain-lain. Semua ini menjadi bekal yang akan sangat berharga di masa depan. Jika waktu di pesantren hanya dihabiskan untuk tidur, berarti kita sedang menutup pintu terhadap kesempatan belajar yang luas.


2. Waktu di Pesantren itu Terbatas

    Rata-rata masa mondok hanya beberapa tahun. Setelah keluar, santri akan kembali ke masyarakat, sibuk dengan pekerjaan, kuliah, atau rumah tangga. Saat itu, kesempatan belajar intensif seperti di pesantren sudah jarang ditemukan. Sayang sekali kalau momen ini dihabiskan untuk bermalas-malasan, apalagi cuma untuk mabar.


3. Tidur Itu Perlu, Tapi…

    Tidur memang bagian dari kebutuhan manusia. Tapi, kalau tidur sudah menjadi kegiatan utama santri, jelas ini bukan lagi istirahat, melainkan kemalasan. Ingat pepatah Arab:


 "الوقت كالسيف إن لم تقطعه قطعك"  

"Waktu itu bagaikan pedang, jika tidak digunakan untuk memotong, ia akan memotongmu."


4. Manfaatkan Fasilitas dan Lingkungan

    Pesantren punya banyak hal yang tidak semua orang bisa rasakan:

-Ilmu langsung dari guru yang sanadnya jelas.

-Lingkungan dan suasana religius yang mendukung ibadah.

-Kebersamaan dengan sesama santri yang melatih kerja sama dan empati.

-Kegiatan positif yang padat dan tersusun rapi seperti ngaji Al Qur'an, sorogan kitab kuning, musyawarah fiqhiyyah, hingga bersih-bersih lingkungan pondok.

Kalau semua itu dilewatkan hanya karena malas, berarti kita sendiri yang merugi.


Pada akhirnya, tulisan ini sebenarnya sebagai tamparan keras bagi kita semua, khususnya penulis sendiri. Mondok adalah masa emas yang tidak akan terulang. Mari kita gunakan waktu sebaik-baiknya untuk belajar, beribadah, dan memperbaiki diri. Jangan sampai nanti kita menyesal sambil berkata: “Dulu waktu mondok, kok aku cuma mangan turu tok ya?”

Ingat, makan, tidur itu perlu, tapi jangan sampai hidup kita di pesantren hanya diisi dengan itu. Rugi besar!


Sekian, selamat mengamalkan ya sobat-sobat..


Oleh : Muhammad Abid Yakhsyallah.


Friday, August 15, 2025

Kunjungan Al Habib Hasyim bin Abdrurrahman Alaydrus (Pengasuh Ma’had Al Budur Fii ‘Uluumil Qur’an Tarim, Yaman)

    Selasa, 12 Agustus 2025, Al Habib Hasyim bin Abdrurrahman Alaydrus (pengasuh Ma’had Al Budur Fii ‘Uluumil Qur’an Tarim, Yaman) dengan anugerah Allah dapat mengunjungi Pondok Pesantren Putra Al Fattah Kudus.

    Habib Dr. Hasyim bin Abdurrahman Al-Idrus adalah seorang ulama yang berasal dari Tarim, Hadramaut. Beliau menempuh pendidikan di berbagai tempat, dimulai dari berguru kepada Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar di Baidha’, yang juga merupakan guru dari Habib Umar bin Hafidz, menjadikan beliau berdua berada dalam satu perguruan. Setelah itu, beliau melanjutkan pendalaman ilmunya di Darul Mustofa yang dipimpin oleh Habib Umar bin Hafidz.

    Beliau melanjutkan pendidikan ke Mesir, di mana beliau meraih gelar sarjana dan magister di Universitas Al-Azhar Asy-Syarif dengan fokus pada tafsir dan ilmu Al-Qur’an. Di sana, beliau juga mendapatkan sanad qira’ah ‘asyrah sughra dan kubra serta berbagai ijazah kitab. Studi doktoral beliau selesaikan di Universitas Az-Zaitunah, Tunisia, di bidang ilmu Al-Qur’an, dengan mengulang program magister di jurusan yang sama, dan beliau lulus dengan predikat mumtaz ma’a martabah syaraf (sempurna dengan sangat mulia). Beliau juga pewaris sanad Al-Qur’an urutan ke-29 dari Rasulullah ﷺ.

Jabatan:

1. Pendiri dan pengasuh Ma’had Al Budur Fii ‘Uluumil Qur’an Tarim, Yaman.

2. Pendiri dan pemimpin Qismut Tahfidz Qur’an di Ma’had Darul Musthofa Tarim, Yaman.

3. Ketua dan pembina Halaqah Qira’ah Sab’ah, ‘Asyrah Sughra Kubra di Ribath Ilmi Asy-Syarif Seiwun, Yaman. (1435 H).

4. Ketua Qismut Tafsir wa ‘Ulumil Qur’an di Universitas Al-Wasathiyyah Asy-Syar’iyyah Hadramaut, Yaman.

5. Anggota Majlis Ifta’ di Ribath Ilmi Asy-Syarif Seiwun dan Darul Faqih Tarim, Yaman.

Dalam tausiyahnya, Al Habib Hasyim menjelaskan beberapa poin utama:

1. Fath dan Al-Qur’an

    Beliau menjelaskan bahwa nama pondok kita – Al Fattah – berasal dari shigat mubalaghah (lafal yang menunjukkan makna hiperbola). Demikian juga merujuk pada asma Allah Al-Fattah yang berarti “Maha Pembuka,” yang banyak membukakan pintu-pintu kebaikan. Beliau menekankan bahwa cara terbaik untuk mendapatkan futuh atau pembukaan dari Allah adalah melalui Al-Qur’an.

    Fath ini bisa terwujud dalam bentuk pemahaman ilmu yang mudah, kelancaran dalam menghafal Al-Qur’an, dan ketenangan hati. Beliau memberikan contoh dari Al-Qur’an surah ke-48, yaitu surah Al-Fath yang bermakna kemenangan. Surah ini turun saat terjadi Perjanjian Hudaibiyah yang menjadi jalan bagi Allah untuk menganugerahkan kemenangan bagi umat Islam.

    Intinya, dibalik semua kejadian Perjanjian Hudaibiyah, hikmah yang dapat kita ambil adalah bahwa fath atau kemenangan akan turun ketika kita bersabar, karena pertolongan Allah berada bukan pada masa-masa senang dan santai kita, melainkan di masa-masa sulit.

    Sehingga, kalau kalian saat ini belajar dalam masa yang sulit, jauh dari orang tua, makannya sedikit, atau bahkan tidak ada makan, ya sabar. Karena orang yang sabar menghadapi kesulitan seperti itu dalam masa belajarnya, Allah akan memberikan dia futuh, Allah akan memberikan pembukaan terhadap ilmu-ilmunya. Tetapi kalau pekerjaannya tidur–makan, tidur–makan, ya dari mana mau di-futuh?

    Jadi, futuh juga dimulai dari diri sendiri. Di sini beliau juga mengajarkan bahwa ketika engkau berada dalam kesulitanmu, barangkali itu jalan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memberikan kepadamu futuh tersebut.

    Dan jika Allah sudah membukakan seseorang lewat Al-Qur’an, maka ia akan diberi pemahaman yang tiada batasnya, seperti halnya lautan yang tak bertepi. Adapun ilmu-ilmu yang lain diibaratkan sungai-sungainya.

    Setiap kita banyak membaca Al-Qur’an, Allah akan memberikan pemahaman yang baru, dan semakin banyak serta semakin sering mengulang Al-Qur’an, maka semakin besar pula pemberian Allah. Seperti yang dikatakan Al-Imam Asy-Syatibi:

وَإِنَّ كِتَابَ اللهِ أَوْثَقُ شَافِعٍ … وَأَغْنَى غَنَاءٍ وَاهِباً مُتَفَضِّلَا

“Dan sesungguhnya Kitab Allah (Al-Qur’an) adalah pemberi syafaat (penolong) yang paling kuat, dan merupakan harta karun pemberian yang tak akan ada habisnya dalam memberi kekayaan dan karunia.”

    Bagaimana ciri-ciri kita -orang Indonesia- memperoleh futuh yang kesehariannya tidak berbahasa Arab? Yaitu, pertama, kita mendapat ketenangan hati dan kenyamanan ketika membaca serta mengulang-ulangnya tanpa ada rasa bosan. Kemudian, tingkat kedua adalah memperoleh pemahaman maknanya.


2. Keutamaan Ahlul Qur’an

    Habib Hasyim menyebutkan bahwa orang yang menjadi Ahlul Qur’an memiliki kedudukan yang sangat mulia, bahkan disebut sebagai keluarga Allah. Kedudukan ini lebih agung daripada garis keturunan mana pun.

    Al-Qur’an, menurut beliau, adalah warisan dari Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih. Warisan Allah ini berbeda dari yang lain, karena semakin banyak seseorang membaca atau menghafal, semakin banyak pula warisan spiritual yang didapatnya. Maka ambillah warisan ini dengan sebaik-baiknya.

    Dan nasihat beliau kepada kita semua adalah:

عَظِّمُوا الْقُرْآنَ وَعَظِّمُوا أَهْلَ الْقُرْآنِ

“Agungkanlah (dengan penuh penghormatan) Al-Qur’an, begitu juga kepada guru-guru kita.”


3. Adab kepada Guru

    Poin terakhir yang ditekankan adalah adab atau etika kepada guru. Beliau menyampaikan bahwa guru lebih mulia dari ayah kandung karena guru membimbing ruh menuju Allah, sementara ayah hanya memelihara jasad.

    Berbakti kepada guru dianggap sebagai bagian dari berbakti kepada orang tua. Bentuk penghormatan utama adalah dengan menuruti perintah, mendoakan, dan menjaga adab.

    Habib Hasyim juga menyampaikan bahwa beradab kepada guru akan membuahkan hasil di mana murid-murid kita di masa depan juga akan beradab baik kepada kita. Sebagaimana jika kita berbakti kepada kedua orang tua, kelak anak-anak kita juga akan berbakti kepada kita.


Oleh : Tim Litbang.

Thursday, August 14, 2025

Tirakat di Era Digital: Menemukan Sunyi Ditengah Derasnya Notifikasi

Dulu, di sudut-sudut pesantren, tirakat adalah laku diam yang sarat makna.

Para santri muda berlatih menahan lapar, menjaga mata dari tidur, dan bersimpuh di malam-malam sunyi untuk mencari jawaban yang tidak tertulis di kitab dan tidak ditemukan di mesin pencari.

Tirakat bukan untuk pamer kesalehan, melainkan upaya menyentuh sesuatu yang jauh di dalam hati—sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan kuota internet dan tidak mungkin didapat hanya dengan scrolling.

Kini, suasana itu berubah.
Kita lapar bukan karena puasa, tapi karena lupa makan akibat terlalu lama bermain ponsel.
Kita terjaga bukan karena dzikir malam, tapi karena menonton tayangan sampai dini hari.
Kita diam, namun bukan dalam kontemplasi, melainkan karena lelah—pikiran kusut, hati kosong, mental lemah.

Zaman memang silih berganti, tetapi kegelisahan tetap sama. Bedanya, bentuknya berubah mengikuti zaman.

Kita hidup di tengah riuhnya notifikasi, chat, dan komentar yang tak kunjung usai.
Namun, anehnya, justru di tengah keramaian itu, banyak orang merasa makin sepi, makin kosong, makin mudah cemas, mudah iri, mudah letih—meski fisiknya tak ke mana-mana.

Banyak yang mencoba menenangkan diri: ada yang mendengarkan ASMR, ikut kelas meditasi, rehat sejenak dari media sosial, bahkan bepergian ke gunung atau laut.

Namun sering kali, semua itu hanya memberi ketenangan sementara. Rasa resah itu kembali datang, seakan menunggu di depan pintu.

Mengapa demikian? Banyak yang merasa sendiri meski ribuan followers menemani. Karena luka batin tidak bisa diobati dengan like, komentar, atau scroll. Ia butuh jeda. Ia butuh riyadah. Ia butuh… tirakat.

Tirakat di masa kini tentu tidak harus persis seperti para kiai dan sesepuh dahulu yang tidur di langgar, makan seadanya, atau berbulan-bulan dalam laku tapa.

Tapi kita bisa ngambil ruh-nya: menepi untuk mengerti diri. Menepi, bukan karena kabur. Tapi karena ingin pulang — pada batin yang tenang.

Tirakat zaman ini bisa berarti puasa dari hal-hal yang membuat batin keruh:

  • Puasa mencari validasi.

  • Puasa haus eksistensi.

  • Puasa dopamin dari notifikasi dan feeds.

Bentuknya pun sederhana: mematikan ponsel di jam tertentu, duduk diam tanpa distraksi, atau berani berkata jujur, “HARI INI AKU TIDAK PERLU TAHU SEMUA HAL. AKU HANYA INGIN WARAS.”

Maka, di tengah zaman yang bising ini, mungkin sunyi adalah satu-satunya suara yang layak kita dengarkan.

Karena kadang, untuk sembuh, kita tidak butuh banyak hiburan. Kita hanya perlu berhenti sejenak, mengambil napas panjang, dan duduk bersama hati kita sendiri, membaca kalam ilahi, untuk menggapai ketengangan hakiki.

"TIRAKAT BUKAN JADUL. IA JALAN PULANG. IA BUKAN SEMATA JAWABAN. TAPI KEBUTUHAN MENGAHADAPI ZAMAN."

Jika hidup kita terasa larut dalam arus digital, barangkali ini saatnya kita menata diri.
Bukan untuk mundur, tetapi untuk berdiri kembali—lebih tegak, lebih tenang.

Oleh: M. Muktafin Arzaqina - dibantu Tim Litbang.

Sunday, August 10, 2025

Seni Berargumen

    

    Setiap orang bisa memiliki ide dan pemahaman mereka masing-masing. Tapi, tidak semua orang dapat menyampaikan ide dan apa yang mereka pahami dengan cara yang baik. Dalam penyampaian argumen yang baik, terdapat empat komponen dasar yang harus dipenuhi. Keempat komponen ini menjadi struktur fundamental dalam pembuatan argumen yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Empat komponen itu adalah: 

   ` 1. Tesis. Seseorang yang ingin menyampaikan berargumen haruslah memiliki tesis. Ada ide gagasan yang disampaikan. Berbeda dengan makna tesis secara umum, tesis yang dimaksud dalam definisi ini adalah pernyataan yang memerlukan penjelasan lebih lanjut untuk bisa dinilai kebenarannya. Contoh: Berisik pada waktu malam hari adalah perbuatan yang dilarang. Pernyataan ini masih harus melalui beberapa tahap untuk dapat dinilai benar ataupun tidaknya.

    2. Menentukan definisi dan indikator yang diperlukan oleh tesis. Ketika seseorang telah menentukan tesis, langkah selanjutnya adalah menentukan definisi. Apa yang seseorang tadi maksudkan dari tesis yang ia sampaikan. Hal ini diperuntukkan untuk menyamakan pemahaman penyampai tesis dengan penerimanya. Jika merujuk pada tesis "berisik pada waktu malam hari adalah perbuatan yang dilarang" maka hal yang harus didefiniskan adalah makna dari kata berisik. Apa saja yang termasuk kategori berisik dan apa yang tidak masuk dalam koridor definisinya. Setelah selesai menetapkan definisi, langkah selanjutnya adalah menentukan indikator-indikatornya. Contohnya, Apa saja hal-hal yang dilarang pada saat malam hari, kenapa hal tersebut dilarang dilakukan, dan semacamnya.

    3. Langkah selanjutnya dalam penyusunan argumen yang baik adalah penyajian bukti atau data pendukung. Setelah penyampai gagasan memberikan definisi dan menentukan indikator-indikator tesisnya, maka selepasnya adalah tahap penyampaian bukti pendukung atas indikator yang sudah ditetapkan. Misal, berisik pada waktu malam dilarang karena dapat mengganggu istirahat orang lain. Penyampai argumen dapat menyajikan data atau fakta lapangan yang menunjukkan bahwa memang berisik pada malam hari dapat mengganggu istirahat orang lain.

    4. Kesimpulan. Tahap ini mudahnya cuman berupa penyampaian ulang dan closing statement untuk menguatkan tesis yang disampaikan.

    Empat komponen inilah yang menjadi basic seseorang membuat argumen yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Meskipun dalam prakteknya, penyampai argumen tidak melulu harus terpaku pada urutan struktur ini, ia dapat menginovasikan empat komponen ini sesuai dengan style dirinya sendiri.

Oleh: Ustadz Rafly.

Thursday, August 7, 2025

Jangan Sampai Berangkat Sholat Jumuah Salah Niat

 


Besok hari jumuah, teman-teman laki-laki sekalian pasti senang. Karena di hari itu, kalian tidak perlu pusing-pusing memikirkan makan siang. 

Benar, kan? 

Tapi teman-teman, masak kalian berangkat sholat Jumuah hanya untuk mendapatkan makan siang gratis? Kayak orang yang nyoblos Prabowo aja. 

Kalau begitu, kalian salah besar. Niat itu vital. Seperti yang disabdakan Baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, 

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَِى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

“Amalan-amalan itu hanyalah tergantung pada niatnya. Dan setiap orang itu hanyalah akan dibalas berdasarkan apa yang ia niatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya keapda Allah dan Rasul-Nya. Namun barang siapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau seorang wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan tersebut.”

Selain memperbaiki niat, teman-teman juga harus semangat melaksanakan sholat Jumuah. Jangan malah berangkat telat, duduk paling belakang, mencari posisi strategis supaya tidak kalah saing dengan bocah-bocah kecil.

Baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda,

مَنْ رَاحَ إِلَى الْجُمُعَةِ فِي السَّاعَةِ الْأُوْلَى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدْنَةً وَمَنَ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كِبَشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا أَهْدَى دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا أَهْدَى بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامَ طُوِيَتِ الصُّحُفُ وَرُفِعَتِ الْأَقْلَامُ وَاجْتَمَعَتِ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ الْمِنْبَرِ يَسْتَمِعُوْنَ الذِّكْرَ فَمَنْ جَاءَ بَعْدَ ذَلِكَ فَإِنَّمَا جَاءَ لِحَقِّ الصَّلَاةِ لَيْسَ لَهُ مِنَ الْفَضْلِ شَيْءٌ

“Siapa saja yang berangkat shalat Jumuah pada jam pertama, seakan-akan berkurban dengan seekor unta. Siapa saja yang berangkat pada jam kedua, seakan-akan berkurban dengan seekor sapi. Siapa saja yang berangkat pada jam ketiga, seakan-akan berkurban dengan kambing bertanduk. Siapa saja yang berangkat pada jam keempat, seakan-akan menghadiahkan seekor ayam jantan. Siapa saja yang berangkat pada jam kelima, maka seakan-akan menghadiahkan sebutir telur. Setelah imam keluar, maka catatan amal sudah ditutup, qalam pencatat (Baca : Catatan amal) sudah dianggap, dan para malaikat berkumpul di minbar untuk mendengarkan zikir. Siapa saja yang datang setelah itu, maka ia datang hanya untuk memenuhi hak shalat dan tidak mendapatkan keutamaan apa-apa." (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dan juga teman-teman bisa meniatkan apa yang telah diniatkan oleh para salafushsholih, sehingga  sholat jumuah kita akan semakin semakin ber-value disisi Allah. Gitu guys..

Jadi, tidak hanya untuk mendapatkan nasi kotak, kita bisa mendapatkan kurban unta. Dan jangan lupa, kita juga harus bisa mendapatkan ridha Allah. Ya guys yaa, jangan lupa diamalkan, okee..

Oleh: K-San.

Sunday, August 3, 2025

Jadilah Diri Sendiri, Ongkosnya Lebih Murah!


    Belajar filosofi "Anglaras Ilining Banyu" dari Sunan Kalijaga agar dapat mengikuti perkembangan zaman (termasuk media sosial) tanpa kehilangan identitas dan autentisitas diri. Menemukan rahasia untuk tetap menjadi diri kita yang sejati, tidak terseret arus, dan mencapai kesuksesan hakiki.

    Di sini kita akan membahas dan memahami lebih dalam tentang konsep “Self & Persona” yang disampaikan oleh Dr. H. Fachruddin Faiz, S.Ag, M.Ag. (seorang penulis dan juga dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). Beliau menuturkan bahwasanya di dalam dunia psikologi terdapat sebuah konsep “Self & Persona” yang dikaitkan dengan pemikiran Carl Gustav Jung, seorang pakar psikologi asal Swedia. Pemahaman mudahnya, Self ialah diri sejati yang berupa watak asli dari seseorang, sedangkan Persona ialah topeng sosial atau pencitraan yang ditampilkan agar orang lain puas dengan kita. Aksi dari Persona ialah menampakkan hal-hal yang cenderung kontradiktif dengan kenyataan yang ada atau pencitraan. Jadi antara kenyataan dan hal yang ditampilkan tidaklah sinkron. Hal yang mendasari terjadinya fenomena tersebut ialah rasa takut atas respon publik terhadap diri kita karena dianggap tidak pantas atau tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Yang dapat mengetahui apakah itu termasuk kategori Self atau Persona adalah diri kita sendiri dan mungkin orang-orang terdekat kita. Apakah itu murni dorongan dari diri sendiri, ataukah itu dorongan dan pengaruh dari luar hanyalah diri kita sendiri yang tahu. 

    Cara membedakan apakah itu termasuk Self atau Persona ialah dengan menanyakan ke diri sendiri. Kita melakukan hal tersebut karena memang ingin melakukannya (demi kebaikan kita) atau hanya agar orang-orang mengetahui bahwa kita melakukan hal tersebut (pencitraan). Jika hati kita menjawab, “Tidak”, kemungkinan besar itu hanyalah Persona. Namun jika kita melakukan suatu hal untuk menunjukkan bahwa kita sebenarnya ingin benar-benar menjadi seperti itu tapi sayangnya belum bisa, maka bisa jadi itu adalah Becoming (baca : Proses). Persona dan Becoming tidaklah sama. Persona cenderung tidak mengakui dirinya yang sekarang,dengan menampilkan dan mengakuisisi kepribadian lain. sedangkan Becoming itu mengakui dirinya yang sekarang disertai komitmen untuk berubah dan berproses menuju diri yang ia inginkan, atau pengharapan.

“Berpikir itu sulit, itulah mengapa kebanyakan orang lebih suka menghakimi.” 

-Carl Gustav Jung.


Oleh: FRDN ZYDL.